Dimanakah DIA di hatiku?


Pada saat Rasulullah saw dan Sayyidina Abu Bakar ra bersembunyi di gua Tsur, dalam perjalanan untuk hijrah ke Madinah, musuh-musuh Islam sudah berdiri dimuka bibir gua dan hampir menemui mereka, sehingga membuat Sayyidina Abu Bakar ra cemas. Ketika melihat gelagat Sayyidina Abu Bakar ra yang cemas, Rasulullah saw menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, Allah bersama kita.” Itulah kehebatan Rasulullah saw, Allah swt sentiasa di hatinya.

Sewaktu seorang tentara musuh hendak menyerang Rasulullah saw, lalu meletakkan pedang ke leher nabi Muhammad saw dan bertanya, “Siapa yang akan menyelamatkan kamu dariku?” Rasulullah saw dengan yakin menjawab, “Allah.” Mendengar jawaban itu, gementarlah orang itu dan pedangnya pun terlepas dari tangannya. Itulah kehebatan Rasulullah saw, selalu dan selalu ada DIA di hati Beliau.

Dikisahkan bahwa suatu ketika khalifah Umar bin Khaththab ra ingin menguji seorang budak gembala kambing di tengah sebuah padang pasir, “Boleh kau jualkan kepadaku seekor dari kambing-kambing yang banyak ini?” tanyanya kepada budak tersebut.
“Maaf tuan, tidak boleh. Kambing ini bukan saya yang punya. Ia milik tuan saya. Saya hanya diamanahkan untuk menjaganya saja.”
Jawab budak itu.

“Kambing ini terlalu banyak dan tidak ada siapa-siapa selain aku dan kamu di sini, jika kau jual seekor kepadaku dan kau katakan kepada tuanmu bahwa kambing itu telah dimakan oleh srigala, tuanmu tidak akan mengetahuinya,” desak Sayyidina Umar ra lagi sengaja menguji.
“Kalau begitu, di mana Allah?” kata budak itu. Sayyidina Umar ra terdiam dan kagum dengan keimanan yang tinggi di dalam hati budak itu. Walaupun hanya seorang gembala kambing yang termasuk profesi bawahan, tetapi dengan kejujuran dan keimanannya dia punya kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Jelas ada DIA di hatinya.

Suatu ketika yang lain, Sayyidina Khalid bin Walid ra diturunkan pangkatnya dari sebagai seorang jenderal menjadi seorang pasukan biasa oleh khalifah Umar ra. Esoknya, Sayyidina Khalid ra ke luar ke medan perang dengan semangat yang sama. Semangat jihadnya tetap membara walaupun telah diturunkan pangkatnya. Ketika ditanya mengapa, Sayyidina Khalid ra menjawab,“aku berjuang bukan kerana Umar.” Ya, Sayyidina Khalid ra berjuang karena Allah swt. Ada DIA di hatinya.

Melihat enekdot-enekdot agung itu, saya terkesima, lalu bertanya pada diriku sendiri, "dimanakah DIA di hatiku?", Apakah Allah senantiasa menjadi tempat bergantungnya harapan dan tempat merujuk dan membujuk hatiku yang rawan? Allah ciptakan manusia hanya dengan satu hati. Di sanalah sewajarnya cinta Allah bersemi. Jikalau cinta Allah yang bersinar, sirnalah segala cinta yang lain. Tetapi jika sebaliknya cinta selain-Nya yang bersemayam, maka cinta Allah akan terpinggir. Ketika itu tiada DIA di hatiku!

Sering diriku berbicara sendiri, bersendikan sedikit ilmu dan didikan dari guru-guru dalam hidupku, kata mereka (dan aku sangat yakin dengan kata itu), “Bila Allah ada di hatimu, kau seolah-olah memiliki segala-galanya. Itulah kekayaan, ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki.”


Kata-kata itu sangat menghantui diriku. Ia menyebabkan aku berfikir, merenung dan termenung, apakah Allah telah menjadi tumpuan dalam hidupku? Apakah yang aku pikir, rasa, lakukan dan laksanakan sentiasa merujuk kepada-Nya? Bila berselisih antara kehendak-Nya dengan kehendakku, kehendak siapa yang saya dahulukan? Sanggupkah aku menyayangi hanya karena-Nya? Tegakah aku membenci juga karena-Nya?


Muhasabah ini semakin melebar lagi, Saya tanyakan pada diri, bagaimanakah sikapku terhadap hukum-hukum-Nya? Sudahkah aku melawan hawa nafsu untuk patuh dan melakukan segala yang wajib sekalipun pahit dan sakit ketika melaksanakannya? Sudahkah aku meninggalkan segala yang haram walaupun kelihatan indah dan seronok ketika ingin melakukannya?


Pertanyaan-pertanyaan ini sesungguhnya telah menimbulkan lebih banyak persoalan. Bukan lagi akal yang menjawabnya, tetapi rasa hati yang amat dalam. Aku tidak dapat mendustai-Mu, ya Allah. Dan Aku juga tidak dapat mendustai diriku sendiri.
Di hatiku masih ada dua cinta yang bergolak dan berbolak-balik. Antara cinta Allah dan cinta dunia yang sedang berperang begitu hebat dan dahsyat sekali.

Jikalau Sahabat Mutiara Hati bertanya kepadaku, “adakah DIA di hati mu?”, Saya hanya mampu menjawab, “Saya seorang insan yang sedang bermujahadah agar ada DIA di hatiku. Saya belum sampai ke tahap mencintai-Nya, tetapi Saya yakin bahwa Saya telah memulai langkah untuk mencintai-Nya”. Justru belum ada DIA di hatiku, hidupku belum bahagia, belum tenang dan belum sejahtera. Saya akan terus mencari dengan langkah mujahadah ini. Saya yakin Allah itu dekat, pintu keampunan-Nya lebih luas daripada pintu kemurkaan-Nya. Selangkah Saya mendekat, seribu langkah DIA merapat.

Dan akhirnya Saya tiba pada satu keyakinan, di mana DIA di hatiku bukan menagih satu jawaban, tetapi satu perjuangan dan pengorbanan. InsyaAllah, Saya yakin pada suatu masa nanti akan ada DIA di hatiku dan di hati sahabat Mutiara Hati jua! InsyaAllah… Amin. Dan kita akan terus mengemis kasih pada-Nya,

Tuhan dulu pernah aku menagih simpati
Kepada manusia yang alpa jua buta
Lalu terheretlah aku dilorong gelisah
Luka hati yang berdarah kini jadi parah

Semalam sudah sampai kepenghujungnya
Kisah seribu duka ku harap sudah berlalu
Tak ingin lagi kuulangi kembali
Gerak dosa menhiris hati

Tuhan dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmat-Mu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis nikmat-Mu di bumi

Tuhan walau taubat sering kumungkir
Namun pengampunan-Mu tak pernah bertepi
Bila selangkah kurapat pada-Mu
Seribu langkah Kau rapat padaKu
Cintaku, bukanlah Cinta Biasa.

Biarlah kita hidup sering berpisah,
Itu semua demi amanah dakwah.
Karena syurga menagih ujian berat,
Sedangkan neraka dipagari nikmat.

Dipegang jubah suaminya. Matanya yang jernih menatap sayu. “Apakah ini karena Allah?” tanya hampir berbisik. “Ya, wahai istriku. Semua ini karena Allah,” jawab suaminya lalu segera berlalu. Tanpa toleh, tanpa berpaling.

Mendengar jawaban itu Sayyidah Hajar ra tidak berkata apa-apa lagi. Mata dan hatinya mengantar suaminya Ibrahim as berlalu pergi. Tega dan ridha. Jikalau suamiku meninggalkanku karena Allah, aku pun harus rela ditinggalkan juga karena Allah, mungkin itulah renungan hati Sayyidah Hajar ra sewaktu ditinggalkan Nabi Ibrahim as.

Itulah sedikit gambaran perpisahan karena Allah. Nabi Ibrahim as rela meninggalkan istri dan anaknya Ismail as di bumi yang kering kerontang, suatu lembah yang gersang jauh dari keramaian. Ya, itu semua demi perintah Allah. Demi cinta Ilahi yang lebih tinggi dan suci, ditinggalkannya cinta terhadap anak dan istrinya. Itulah hati Nabi Ibrahim as. Jikalau dulu Ia diuji dengan panasnya api yang membara, kini dia diuji lagi oleh perpisahan dengan anak dan istri.

Jangan disangka hanya Sayyidah Hajar ra saja yang menderita ditinggalkan, tetapi bayangkanlah juga derita suaminya Nabi Ibrahim as yang “meninggalkan”. Terkadang orang yang meninggalkan lebih pahit dan sakit tanggungannya daripada orang yang ditinggalkan. Namun apalah pilihan Ibrahim, bila cinta Allah telah berbicara, cinta yang lain akan membisu seribu bahasa.

Mengapa hanya kata-kata “apakah semua ini karena Allah?” yang diminta kepastian oleh Sayyidah Hajar ra terhadap suaminya, Nabi Ibrahim ra? Mengapa tidak ada ucapan yang lain? Mengapa tidak diucapkan, “kenapa sampai hati kau berbuat begini?” Tidak, ucapan sejenis itu sama sekali tidak keluar dari lisan suci istri shalihah seperti Sayyidah Hajar ra. Apa yang hendak dipastikannya hanyalah satu, semua itu dilakukan oleh suaminya karena Allah. Bila karena Allah, tenanglah hati Sayyidah Hajar ra. Allah pasti tidak akan mengecewakannya, suaminya pun tidak akan dan tiada bermaksud menganiayanya.

Bertemu karena Allah, bersatu karena Allah, berpisah pun karena Allah. Itulah tradisi dalam cinta para shalihin dan muqarrabin. Dan ibrah bagi kita, untuk mengekalkan cinta dalam rumah tangga atau yang lain, inilah teras dan asasnya. Jangan ada “karena” yang lain. Jikalau ada yang lain, pasti cinta itu tergugat jua walaupun bagaimana teguhnya janji dan peneguhan kata yang pernah dimeterai. Untuk mengekalkan cinta, ini saja prinsipnya –berbuatlah apa saja karena Allah. Lurus dan tulus, tanpa belok dan bengkok.

Sekalipun terpisah, namun cinta Nabi Ibrahim as dan Sayyidah Hajar ra tidak pernah luntur. Itu karena keduanya berpegang kepada asas cinta yang hakiki, cinta Ilahi. Dan bila mereka bertemu kembali, beberapa tahun kemudian, cinta itu teruji lagi. Kali ini Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Allah swt untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim bertekad, Ismail pun mesti dikorbankan. Tetapi bagaimana Sayyidah Hajar ra?

Sayyidah Hajar ra teruji lagi. Nilai anak bagi seorang ibu, terkadang melebihi nilai dunia dan isinya. Ikatan hati antara ibu dan anak jauh lebih teguh dan kukuh daripada ikatan kimia. Sekali lagi “jika itu kehendak Allah”, dia pasrah. Allah pasti tidak akan mengecewakannya, seperti air zam-zam yang menyuburkan lembah Makkah yang gersang, maka begitulah iman yang memperkasa jiwa Sayyidah Hajar ra. Sekali lagi dia rela dan tega.

Kali ini kusadari,
Aku telah jatuh cinta,
Dari hati yang terdalam...
Sungguh, aku cinta pada-Mu...

Cintaku bukanlah cinta yang biasa,
Bila Kamu yang memiliki,
Dan Kamu yang temaniku seumur hidupku...

Terimalah pengakuanku...
(Lirik by Afgan's song)

Ah, begitu agungnya sejarah itu. Namun, dimanakah asas cinta seperti itu di masa kini? Berita perselingkuhan semakin marak di berbagai media, angka perceraian melonjak semakin tinggi. Janji hidup bersama dan mati berdua, hanya jadi mainan kata di awal-awal penikahan. Seiring semakin berlalunya musim bulan madu, cinta semakin hari semakin terkikis. Tak usah untuk mati berdua, hidup bersama pun sudah tidak mau lagi. Suami jemu dengan ulah istri, dan istri bosan dengan tingkah suami. Dan akhirnya, perceraian pun tidak dapat dielakkan lagi.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, karena dalam hati suami dan istri telah lenyap prinsip “karena Allah”. Memang, kita tidaklah setabah Sayyidah Hajar ra dan setegar Nabi Ibrahim as. Namun setidak-tidaknya kita mengakui dan senantiasa berusaha untuk bersabar dengan peneguhan kata karena Allah. Inilah yang bisa kita pelajari dari cinta dan sabar dalam rumah tangga Nabi Ibrahim as dan isterinya Sayyidah Hajar ra. Sesungguhnya, cinta mereka itu bukanlah cinta biasa!
Misteri Takdir

Cinta begitu indah hiasi taman hati
Seperti tulip, mawar dan melati
Perindah kebun dengan irama harmoni
Harmoni sukacita-dukaderita dalam simpul takdir Ilahi
Yang mengunjungi nurani silih berganti

Pada suatu hari sepasang suami istri sedang makan bersama di rumahnya. Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk seorang pengemis. Melihat keadaan pengemis itu, si istri merasa terharu dan dia bermaksud hendak memberikan sesuatu. Tetapi –sebelumnya- sebagai wanita shalihah yang patuh kepada suami, dia meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya, “Wahai Suamiku, bolehkah aku memberi makanan atau uang kepada pengemis itu ?”. Rupanya sang suami memiliki karakter berbeda dengannya. Dengan suara lantang dan kasar suaminya menjawab, “Tidak usah! usir saja dia, dan tutup kembali pintunya!”. Si istri terpaksa tidak memberikan apa-apa kepada pengemis tadi, sehingga dia(pengemis) berlalu dengan kecewa.

Pada suatu hari yang naas, bisnis sang suami kolaps/bangkrut. Kekayaannya habis dan ia dililit banyak hutang. Selain itu, karena ketidakcocokan sifat dengan sang suami, rumah tangganya menjadi berantakan hingga berujung pada perceraian. Tidak lama sesudah lewat masa iddahnya, wanita shalihah itu menikah lagi dengan seorang pedagang di kota dan hidup bahagia. Pada suatu ketika dia sedang makan dengan suaminya(yang baru), tiba-tiba ia mendengar pintu rumahnya diketuk orang. Setelah pintunya dibuka ternyata tamu tak diundang itu adalah seorang pengemis yang sangat mengharukan hatinya. Maka dia berkata kepada suaminya, “Wahai suamiku, bolehkah aku memberikan sesuatu kepada pengemis ini?”. Sang suami menjawab, “Berikanlah makan atau apa yang engkau hendaki pada pengemis itu!!”.

Setelah memberi makanan dan sejumlah uang kepada pengemis itu, si istri masuk ke dalam rumah dan langsung memeluk suaminya dari belakang sambil menangis. Suaminya dengan perasaan heran bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menangis? apakah engkau menangis karena aku mengizinkanmu untuk memberikan sesuatu –terserah kamu- kepada pengemis itu?”. Si istri menggeleng halus, lalu berkata dengan nada haru dan sedih, “Wahai suamiku, aku sedih dan terharu dengan perjalanan takdir yang sungguh menakjubkan hatiku. Tahukah engkau, siapakah pengemis yang ada diluar itu tadi? Dia adalah suamiku yang pertama dulu.”

Mendengar keterangan istrinya demikian, sang suami sedikit terkejut. Lalu dia merubah posisi tubuhnya hingga berhadapan dengan istrinya -tanpa melepaskan pelukannya. Dan segera dia balik bertanya, “Dan engkau, istriku. Tahukah, siapa aku yang kini menjadi suamimu ini?". Lagi-lagi istrinya menggeleng lembut di dadanya, lalu dia mendongakkan kepala istrinya. Dengan linangan air mata di masing-masing sudut matanya, dia mengecup kening istrinya dan kemudian berkata, “Aku adalah pengemis yang dulu diusirnya!!”
Cinta dan Hanya Cinta

Cinta dan hanya cinta yang bisa saya sampaikan,…
Cinta dan hanya cinta yang bisa saya sebarkan,…
Cinta dan hanya cinta yang bisa saya berikan,…
Cinta dan hanya cinta yang bisa saya ajarkan,…
Karena, cinta dan hanya cintalah yang kita butuhkan. Cinta dari Allah, oleh Allah, untuk Allah, dan karena Allah. Tidak mungkin (atau bahkan sangat mustahil) Allah merahmati manusia yang Dia benci, rahmat Allah hanya untuk mereka yang mencintai dan dicintai-Nya.

Cinta dan hanya Cinta...
Cinta adalah satu tema sentral dalam khazanah kehidupan dan sejarah peradaban umat manusia. Ia telah menjadi salah satu instrumen epistemik yang paling banyak dibicarakan, ditulis, didiskusikan, disyairkan, dinovelkan, didramakan, dan difilmkan.

Cinta dan hanya Cinta…
Bila ditumbuhkan dalam ruang libido, lahirlah freudisme(cinta birahi); dalam ruang emosi, lahirlah egosentrisme(cinta ragawi); dalam ruang akal, lahirlah egoisme(cinta diri/kepongahan atau narsisme); dalam ruang ambisi, lahirlah materialisme(cinta duniawi). Namun, semua tipologi cinta itu hanya bersifat majazi (aforistis atau metaforis). Tak ada dan tak akan pernah ada kesejatian dan kesadaran hakiki yang menyertainya, kecuali sebentuk pseudo-kesadaran belaka yang akan menggiring pada jurang gelap fatalisme, absurdisme, atheisme, kapitalisme-liberalisme, sosialisme, nihilisme, dan individulisme radikal.

Akan tetapi, bilamana cinta tumbuh dalam ruang Kalbu, lahirlah sufisme(cinta ilahi).
Cinta hakiki hanya terpaut dengan Yang Hakiki; Dialah Yang Maha Cinta, Allah ‘Azza wa Jalla. Allah adalah sumber, poros, sekaligus cinta dan kebahagiaan abadi. Dia adalah totalitas, unitas, dan absolutitas cinta yang tidak menyisakan ruang sekecil pun bagi ambiguitas.
Risalah Cinta

Yaa Ilahi, Rabbi...
Kutunggu jawaban-Mu di sajadah kalbu
Kusimpan pesona-Mu di relung hati
Kusibak tabir-Mu dengan menanggalkan dosa
Kuraih kasih-Mu dengan bertasbih

Yaa Waduud...
Semaikan benih-benih cinta,
agar Aku dapat menyapa senyum-Mu.
Bukankah setetes air cinta,
tidak akan mengurangi keindahan-Mu.
Bukankah Aku berhak merasakan kemesraan cinta-Mu...
Jikalau Engkau tolak risalahku,
Kemana lagi kualamatkan goresan tinta, cinta dan cita-cita ini...

Yaa Rahman, Yaa Rahim...
Aku memang petualang cinta,
Aku masih mencari dan belajar memaknai cinta,
Sebagian cintaku, kugadaikan pada yang lain.
Namun, dengan keagungan cinta-Mu.
Bukankah Engkau tidak pernah menolak cinta hamba-Mu.
Terimalah puing-puing cintaku,
Balaslah cintaku dengan mahabbah-Mu.

Yaa Arham al-Rahim...
Dihadapan-Mu kupejamkan mata batinku,
Tuk menahan rasa malu.
Nuraniku bertanya,
kado apa yang dapat memikat-Mu...?
Hanyalah risalah cinta ini yang dapat kupersembahkan,
Semoga Engkau berkenan menerimanya.
Akhwat: Untukmu, yaa Akhi...

Akhi...
Afwan sebenarnya yang pengen ana sampaikan adalah pilihan kita untuk memilih pasangan. Bagi para ikhwan, pikirkanlah baik-baik (matang-matang, masak-masak, tapi jangan sampe gosong) sebelum menawarkan sebuah jalinan bernama ta’aruf. Jangan mudah melontarkannya jika tak ada komitmen dan kesungguhan untuk meneruskannya. Mengertilah keadaan kami (akhwat). Antum tahu, bahwa sifat kaum hawa itu lebih sensitif. Kami mudah sekali terbawa perasaan. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, kami adalah makhluk yang mudah sekali GeEr, suka disanjung, suka diberi pujian apalagi diberi perhatian lebih. Jadi saat kata ta’aruf atau mungkin khitbah itu keluar dari lisan seorang lelaki baik dan shalih seperti antum, tak ada alasan bagi kami untuk menolak. Karena jika kami menolak tanpa alasan yang jelas, maka hanya fitnah yang ada. Jadi, tolong tanyakan lagi pada diri antum, apakah kata-kata itu memang keluar dari lubuk hati antum yang terdalam? Apakah antum sudah memohon petunjuk kepada yang Maha Menguasai Hati? Apa antum benar-benar siap (ilmu, iman, mental, fisik, materi, dll) untuk menjalin ikatan suci bernama pernikahan?

Akhi...
Sekali lagi, berhati-hatilah dengan kata ta’aruf. Karena ta’aruf adalah gerbang menuju pernikahan. Kemudian timbul pertanyaan, seberapa jauhkah jarak pintu gerbang menuju pintu rumah antum? Padahal selama perjalanan akan banyak cobaan menghadang. Bunga-bunga indah di halaman rumah antum bisa membuat kami terpesona. Kolam ikan yang indah juga membuat kami terlena. Ingin sekali kami memetiknya, ingin sekali kami berlama-lama di sana menikmati keindahan dan kenikmatan yang antum sajikan. Tapi kami nggak berhak, kami belum mendapat izin dari si empunya rumah. Tadinya kami ingin segera mencapai sebuah keberkahan, tapi di tengah jalan antum menyuguhkan keindahan-keindahan yang membuat kami lupa akan tujuan semula.

Akhi...
Lebih menyakitkan lagi jika antum membuka gerbang itu lebar-lebar dan kamipun menyambut panggilan antum dengan hati berbunga-bunga. Tapi setelah kami mendekat dan sampai di depan pintu rumah antum, ternyata pintu rumah antum masih tertutup. Bahkan antum tak berniat membukakannya.

Saat itulah hati kami hancur berkeping-keping. Setelah semua harapan kami rangkai, kami bangun, tapi kini semua runtuh tanpa sebuah kepastian. Atau mungkin antum akan membukakannya, tapi kapan? Antum bilang jika saatnya tepat. Lalu antum membiarkan kami menunggu di teras rumah antum dengan suguhan yang membuat kami kembali terbuai, tanpa ada sebuah kejelasan. Jangan biarkan kami berlama-lama di halaman rumah antum jika memang antum tak ingin atau belum siap membukakan pintu untuk kami. Kami akan segera pulang karena mungkin saja kami salah alamat. Siapa tahu rumah antum memang bukan tempat berlabuhnya hati ini. Ada rumah lain yang siap menjadi tempat bernaung bagi kami dari teriknya matahari dan derasnya hujan di luar sana. Kami tak ingin mengkhianati calon suami kami yang sebenarnya. Di istananya ia menunggu calon bidadarinya. Menata istananya agar tampak indah. Sementara kami berkunjung dan berlama-lama di istana orang lain.

Akhi, sebelum ijab qobul itu keluar dari lisan antum, cinta adalah cobaan. Cinta itu akan cenderung pada hawa nafsu. Cinta itu akan cenderung untuk mengajak berbuat maksiat . Itu pasti! Langkah-langkah syetan yang akan menuntunnya. Kita tentunya nggak mau memakai label “ta’aruf” untuk membungkus suatu kemaksiatan bukan? Hati-hatilah dengan hubungan ta’aruf yang menjelma menjadi TTM (Ta’aruf Tapi Mesum). Tolong hargai kami sebagai saudara antum. Kami bukan kelinci percobaan. Kami punya perasaan yang tidak berhak antum buat “coba-coba”. Pikirkanlah kembali. Mintalah petunjuk-Nya. Jika antum memang sudah siap dan merasa mantap, segera jemput kami.

Dan satu lagi yang perlu antum perhatikan adalah bagaimana cara antum menjemput. Tentunya kita menginginkan kata BERKAH di awal, di tengah, sampai di ujung pernikahan kan? Hanya ridho dan keberkahan-Nya lah yang menjadi tujuan. Pilihlah cara yang tepat dan berkah. Antum sudah merasa mantap pada akhwat itu. Antum yakin seyakin-yakinnya bahwa dialah bidadari yang akan menghias istana antum. Tapi antum tidak menggunakan cara yang tepat untuk menjemputnya. Sama halnya jika antum yakin dan mantap untuk menuju Surabaya. Tapi dari Jakarta antum salah memilih kendaraan, akibatnya antum gak akan pernah sampai ke Surabaya, malah nyasar. Ato kendaraannya sudah bener tapi nggak efektif. Terlalu lama di perjalanan. Masih keliling-keliling dulu. Akhirnya banyak waktu terbuang percuma selama perjalanan. So, antum juga harus memikirkan cara yang baik/ahsan, tepat dan berkah agar bahtera rumah tangga antum berjalan di atas ridho dan keberkahan-Nya. (Tuh kan jadi kemana-mana lagi. Tapi gak papa deh. Setidaknya unek-unek ana dah keluar, fiufh lega!)

Di depan tadi kita bahas apaan sih? Oh ya, ketika ikhwah jatuh cinta. Ana ga akan bahas panjang lebar karena ana tau kalian pasti akan bosan membaca celotehan ana yang “njelimet”. Tapi izinkan ana mengutip beberapa bait tulisan yang ada di majalah al izzah edisi 11/th4/jan 2005 M sebagai perenungan bagi jiwa-jiwa yang merindukan kehadiran sang teman sejati untuk melangkah bersama menuju jannah-Nya…
Cinta dalam Hati

Cinta...
Bukanlah panorama yang indah terlihat,
Bukanlah aroma yang lezat,
Bukan pula suara yang memikat.
Namun irama perasaan yang mengalun nikmat,
Tersimpan rapi di ruang hati,
Hanya kekasih sejati yang mengetahui.

Sobat, setiap indera membutuhkan obyek untuk dinikmati. Telinga membutuhkan suara-suara merdu, suara aliran sungai yang tenang, suara kicau burung di pagi hari, suara alunan adzan dari kejauhan, atau syahdunya suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Semuanya membuat telinga dimanjakan; Mata memerlukan pemandangan- pemandangan indah untuk dilihat. Langit yang menghampar biru, gunung gemunung yang kokoh tinggi, atau samudera luas yang seakan tak berbatas. Seluruhnya memberikan keterpesonaan tersendiri bagi penglihatan manusia; Lidah menuntut hidangan-hidangan lezat untuk dikecap, gurihnya daging burung, segarnya buah jeruk, manisnya kurma. Kesemuanya memuaskan lidah.

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, jikalau telinga menuntut suara, mata menuntut panorama. Lidah menuntut makanan dan minuman lezat penggugah selera. Lalu apa yang dituntut hati? Hati menuntut cinta. Tetapi hati tak akan pernah mendapatkannya, kecuali telah bersih dari debu-debu nafsu yang melekati permukaannya.

Cinta adalah kasih sayang yang tersaji...
Namun, tiada insan yang mampu lakukan ini.
Sebelum hati menjadi suci,
Bersih dari kerak-kerak nafsu birahi.

Cinta memenuhi kebutuhan hati. Pemenuhan cinta kepada hati ini lebih indah ketimbang pemenuhan yang dilakukan panorama kepada mata. Lebih lezat ketimbang pemenuhan makanan dan minuman kepada lidah. Dan lebih memikat ketimbang pemenuhan suara merdu kepada telinga. Itu karena hati adalah indera yang lebih agung. Lebih tinggi dari semua indera lainnya. Terkadang hati memberitahu banyak hal diluar jangkauan indera lainnya. Indera yang lima hanya memberitahu yang kasat indera. Sedang hati tidak. Cinta tulus mampu membuat hati halus. Sehingga mampu memberitahu bahwa kekasih merindukan kita. Bahwa kekasih membutuhkan kita. Bahwa kekasih dalam cengkeraman marabahaya. Sehingga kita harus cepat-cepat menjumpainya., tuk memberikan perlindungan. Dan menyiramkan kasih sayang yang dibutuhkannya.

Cinta merupakan percikan Rahmat dari Sang Pencipta
Dianugerahkan pada setiap insan yang jernih hatinya
Layaknya sebuah telaga...
Hingga hati kekasih mampu bercermin diatasnya
Jangan Benci Bilang Sayang

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, kita dihadapkan pada realitas bahwa Akhwat yang sesuai kriteria fiqih islam untuk kita nikahi ada sekian banyak jumlah dan macamnya. Di antara sekian banyak Akhwat yang telah memasuki usia siap nikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai usia 35th, sebagian yang lain antara 30th hingga 35th, sebagian berusia 25th hingga 30th, dan yang lainnya dibawah 25th. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsional sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga. Maka siapakah yang lebih kita pilih, dan dengan pertimbangan apa kita memilih si Dia?

Ternyata kita memilih si Fulanah, karena ia memenuhi kriteria kebaikan agama, cantik rupawan, cerdas dan usia masih muda 20th. Apakah pilihan kita ini salah? Sumpah, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, pilihan kita ini tidak salah! Kita telah memilih dengan benar, dan memenuhi sunnah Rasul saw. Nah masalahnya, apabila kita semua(Ikhwan) berpikiran dan menentukan calon istri harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5th lebih muda atau lebih muda lagi dari kita. Maka siapakah yang akan datang melamar muslimah yang usianya diatas 25th, atau diatas 30th, atau bahkan diatas 35th? Siapakah yang akan menikahi akhwat yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai wanita cantik menurut kaidah umum? Kecantikan/ketampanan sifatnya memang dinamis, tapi kejelekan sifatnya mutlak bin absolut. Sobat, mereka adalah akhwat yang taat, mereka adalah calon mar’atus shalihah, mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan sosial. Sebagai ikhwan sejati, kita harus gentleman bertanya pada diri sendiri, siapakah yang harus menikahi mereka?

Oh, mengapa pertanyaannya “harus”? Sobat, kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas ini. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agung-Nya. Bukan, bukan ini maksud saya, dan bukan pula dalam konteks ini saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian? Saya punya pengalaman pribadi yang mau tidak mau harus saya sampaikan sebagai pelengkap mutiara kali ini. Tempo lalu saya mendapat surat elektrik dari seorang akhwat, inti suratnya adalah dia mengajak nikah. Subhanallah... saya bangga sama dia, 1:1000 loh dari akhwat yang menyatakan cintanya lebih dulu. Saya sambut baik ajakan itu, kalo famili saya sih ok ok aje. Tapi, Ibunda si Dia tidak merestui karena salah satu alasannya adalah umur saya 5th lebih muda dari dia. Awalnya saya juga ragu karena alasan yang sama, dia lebih tua 5th dari saya. Tapi saya ingat janji Allah bahwa jodoh yang spesial dan terbaik hanya untuk mereka yang spesial dan terbaik pula, oleh karenanya saya memantapkan diri untuk maju. Tapi akhirnya tidak jadi juga, ini baru nama takdir, bukan berarti saya lebih baik dari dia. Justru saya merasa bahwa dia jauh lebih baik dari saya, sehingga Allah memberikan keputusan agung-Nya. Oleh karenanya, peristiwa itu menjadi trigger bagi saya untuk lebih serius membersihkan noktah-noktah yang ada dalam diri dan jiwa saya, untuk menyambut Sang Bidadari, mar’atus sholihah. Allahu Akbar...

Ok, kita kembali ke pembahasan utama. Kendati pun Rasul saw menganjurkan kita agar menikahi seorang gadis(sederajat atau lebih muda) yang rupawan, kita juga mengetahui bahwa Cinta Pertama Beliau, umurnya 15th lebih tua dari Beliau -dan janda lagi- yaitu Ummul Mukminin Khadijah ra. Beliau melakukannya demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah, sekali lagi demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Terbukti, hadirnya Sayyidah Khadijah ra di sisi Rasul saw, fluks dakwah islamiyah semakin besar dan luas. Sayyidah Khadijah ra lah yang menyelimuti Beliau disaat Beliau menggigil setelah menerima wahyu, Sayyidah Khadijah ra lah yang menenangkan dan memberi support penuh dikala Beliau mendapat pressing dan cemoohan dari kaum kafir quraisy, dan Sayyidah Khadijah ra lah yang setelah kematiannya menjadi kenangan terindah yang tak terlupakan dimemori Beliau. Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikorelasikan dengan proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Jikalau kecantikan akhwat harapan kita bernilai 100 poin, tidakkah kita bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi lain? Ketika pilihan lebih membawa kemaslahatan dengan dakwah islamiyah, mengapa tidak ditempuh? Jikalau akhwat harapan kita berusia 20th, tidakkah kita bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada akhwat yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia? Sobat,
Janganlah kita mencari Istri untuk diri kita, tapi carilah Ibu untuk anak-anak kita.
Ataukah kita telah bersepakat untuk tidak mau melihat realitas ini, karena memang bukanlah tanggung jawab kita? Ini urusan pribadi masing-masing, nafsi-nafsi. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah perkara takdir yang kita semua tak tahu. MasyaAllah, seribu dalil dan dalih bisa kita gunakan untuk mengabsahkan pikiran individualistik kita. Tak ingatkah kita,
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut diseluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas".
(HR Imam Bukhori dan Muslim)
Sobat, bisa jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitikan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap mereka mendapat kabar/undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan sedih, karena jodoh tak kunjung datang. Sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri terus berkurang. Oleh karena itu, marilah kita segera menjemput Khadijah-Khadijah pilihan kita. Allahu Akbar...
Semua Tentang Cinta . . . . #4

Cinta, duh cinta...
Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat dan kemarahan menjadi rahmat. Kata seorang pujangga. Dan juga hati-hati dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak. Memang, virus merah jambu ini memang bisa bikin blingsatan dan jungkir balik tidak karuan. Uring-uringan, hingga makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.

“Seandainya ukhti menjadi istri saya, saya berjanji akan membahagiakan ukhti,” demikian kira-kira ungkapan keinginan para ikhwan terhadap akhwat yang akan mereka lamar. Tak peduli siang malam, yang dipikirkan hanya juwita sayang impian seorang. Tak tahan dengan lamaran sang ikhwan, setelah mikir hampir sebulan, si akhwat pun jatuh cinta. Jiwa terbang ke awang-awang, bermain dengan bintang gemintang. Dan akhirnya mengambil keputusan untuk tak menolak lamaran, dan segara menuju ke pelaminan.

Akhirnya... Nikah juga, cihuuuiii...!!!

Di malam pertama yang begitu indah, dua sejoli sama-sama gugup dan gagap saat kali pertama berduaan. Tak tahu apa yang harus dibicarakan, dan apa yang harus dilakukan, sehingga mereka tak berani berhadapan. Lalu keduanya memutuskan untuk duduk berdampingan tapi masih agak berjauhan. Sambil melihat purnamanya rembulan, sang ikhwan, meski gemetaran, mulai berani memegang tangan, dan memulai membuka percakapan.

"Umi, tahu nggak?"
"Tahu apa, abi!" Jawab si akhwat dengan nada gemetaran.
"Sudah lama abi kagum sama umi".
"ah, masak. Sejak kapan, bi?" balik tanya
"Sejak ketemu di kajian mingguan di masjid kampus, semester yang lalu, tak sengaja abi melihat umi yang sedang melintas".

Suasana hening sejenak, keduanya belum juga berani bertatapan, tapi duduknya tambah berdekatan. Sang ikhwan memulai lagi,

"Umi...".
"Ada apa, bi?"
"Umi...".
"Iya, ada apa?"
"Umi, lihat abi".

Kemudian si akhwat pun mulai berani menatap sang Ikhwan, dan 'Cessss...!!!'. Entah apa yang terjadi pada keduanya, hanya mata yang berkaca-kaca yang bisa menjawabnya. Tanpa melepas pandangan, dan terus memandang dengan penuh perasaan, si akhwat bertanya,

"Ada apa, bi?"
"Sakit nggak, mi?" tanya si ikhwan lagi.
"Sakit kenapa?"
"Bidadari kaya umi, jatuh dari langit.. Sakit nggak sih ?"
Si akhwat pun tersipu malu, hidung kembang-kempis dan jempol kaki jadi tambah gede, "Idih... Abi bisa aja nih." Cubit-cubitan pun tak bisa dihindarkan

Cinta, duh cinta...
Di awal pernikahan duhai sungguh indah sekali, sayang-sayangan yang bikin mabuk kepayang, makan saling suap-suapan, di jalan pun saling bergandengan, hingga kadang membuat iri yang belum menemukan pasangan. Tidak percaya! Silahkan,

BUKTIKAN...!!!
=berakhir>> ||
=berbalik>> #3
Semua Tentang Cinta . . . . . #3

“Suami yang saya dambakan adalah yang bertanggungjawab pada keluarga, giat berdakwah dan rajin beribadah, cerdas serta pengertian, penyayang, humoris, mapan dan juga tampan.”
Itu mungkin suami dambaan salah seorang akhwat. Tapi jangan marah bila saya katakan bahwa seandainya kriteria itu adalah harga mati yang tak tertawar, maka yang ukhti butuhkan bukanlah seorang ikhwan melainkan kitab-kitab pembinaan. Karena kenyataannya tidak ada satupun ikhwan di dunia ini yang bisa memenuhi semua keinginan anti. Ada yang mapan tapi kurang rupawan, ada yang rajin beribadah tapi kurang mapan, ada yang giat dakwah dakwah tapi selalu merasa benar sendiri, dsb.

Ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki kriteria bagi calon belahan jiwa kita, lantas membuat kita mengubah prinsip menjadi ‘yang penting akhwat” atau “yang penting ikhwan”. Tapi realistis lah, setiap menusia punya kekurangan – sekaligus kelebihan. Mereka yang menikah adalah orang-orang yang berani menerima kekurangan pasangannya, bukan orang-orang yang sempurna. Tapi berpikir realistis terhadap orang yang akan melamar kita, atau yang akan kita lamar, adalah kesempurnaan.

Di sisi lain, entah via SMS, Chatting, telpon, atau bicara langsung...
“Maukah ukhti menjadi istri saya? Saya tunggu jawaban ukhti dalam waktu 1 X 24 jam!”

Masya Allah, akhi, cinta bukanlah martabak telor yang bisa di tunggu waktu matangnya. Cinta juga berproses, membutuhkan waktu, apalagi berbicara rumah tangga, pastinya banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dipikirkan. Ada unsur keluarga yang juga berperan. Selain juga ada pilihan-pilihan yang mungkin bisa diambil. Cinta bisa juga datang dengan cepat tak terduga atau mungkin tidak seperti yang kita harapkan. Ada orang yang dengan cepat berumah tangga, tapi ada pula yang merasakan segalanya berjalan lambat, namun tidak pernah ada kata terlambat untuk merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Beri kesempatan diri kita untuk kembali merasakan kehangatan cinta. ‘love is knocking outside the door'. Tidak pernah ada kata menyerah untuk meraih kebahagiaan dalam naungan ridha-Nya. Yang pokok, ikhwan atau akhwat yang kelak akan menjadi pasangan kita adalah mereka yang dirihai agamanya.

Jadi, jangan terlalu percaya diri akhi bahwa lamaran antum diterima. Jangan juga terlalu yakin ukhti, bahwa sang pujaan akan datang ke rumah anti. Perjodohan adalah perkara gaib, tanpa ada seorang pun yang tahu kapan dan dengan siapa kita akan berjodoh. Cinta dan perjodohan tidak mengenal status dan identifikasi fisik. Bukan karena ukhti cantik maka para ikhwan menyukai ukhti. Juga bukan karena akhi tampan dan seorang hamalatud da'wah lalu setiap akhwat mendambakannya.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Tetap percaya diri dengan perbaiki diri selalu, dan Tawakkal kepada Allah swt. Sehingga manakala kenyataan pahit yang ada di depan mata, sang akhwat menolak khitbah kita atau sang ikhwan memilih ‘bunga' yang lain, hati ini tidak akan tercabik. Yang akan datang adalah keikhlasan dan sikap lapang dada.

Nah, bagaimana kalau CINTA BERBALAS? Apakah memang seperti gambaran orang-orang yang patah hati karena cinta mereka bertepuk sebelah tangan? apakah Cinta yang berbalas itu benar-benar indah dan membahagiakan?

=bersambung>> #4
=berbalik>> #2
Semua Tentang Cinta . . . . . #2

Sungguh menyakitkan
mencintai seseorang yang tidak mencintai kita,
tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang
dan kita tidak pernah memiliki keberanian
untuk menyatakan cinta kita kepadanya.

Semoga kata-kata itu menjadi sedikit penawar bagi mereka yang cintanya bertepuk sebelah tangan menuju mahligai rumah tangga, dan menjadi pemicu bagi mereka yang tak kunjung berani menyatakan cintanya.

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, jikalau sudah bicara tentang "CINTA" , tidak akan pernah ada kata akhirnya, karena cinta adalah anugerah yang indah sekaligus bikin gelisah. Haruskah kita marah-marah karena pinangan tertolak? atau mendoakan keburukan pada ikhwan yang tidak mencintai kita? Itu bukan sikap seorang muslim/muslimah yang baik. Tidak ada yang bisa melarang seseorang untuk jatuh cinta maupun menolak cinta. Sebagaimana kita punya hak untuk mencintai dan melamar orang, maka ada pula hak yang diberikan Islam pada orang lain untuk menolak pinangan kita. Bahkan dalam kehidupan rumah tangga pun seorang suami dan istri diberikan hak oleh Allah SWT. untuk membatalkan sebuah ikatan pernikahan.

Lalu, mengapa ada hak penolakan cinta yang diberikan Allah pada kita? Bahkan dalam pernikahan ada pintu keluar ‘perceraian'? jawabannya adalah sangat mungkin manusia yang jatuh cinta atau setelah membangun rumah tangga, ternyata tak kunjung memperoleh kebahagiaan dari pasangannya, maka tiada guna mempertahankan sebuah bahtera rumah tangga bila kebahagiaan dan ketentraman tak dapat diraih. Wallahu 'alam bish showab...

Oleh karenanya, berpikir positif lah manakala cinta tak berbalas. Belum tentu kita memperoleh kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang kita pandang baik secara kasat mata, belum tentu berbuah kebaikan di kemudian hari. Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang kita idamkan begitu menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk sebelah tangan, untuk apa semua kita pikirkan lagi? Allah Maha Pangatur, Ia pasti akan mempertemukan kita dengan orang yang akan memberikan kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan mungkin lebih dari yang kita harapkan. Be positive thinking, suatu hari kelak ketika kita telah menikah dengan orang lain –bukan dengan si dia yang dulu kita idamkan- niscaya kita takjub dengan kebahagiaan yang kita rasakan. Percayalah banyak orang yang telah merasakan hal demikian.
"...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui..."
(QS. al-Baqarah : 216)
Sekali lagi, sobat, bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi bukan alasan untuk menyurutkan langkah berumah tangga, alias putus asa.
“...Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir...”
(QS. Yusuf :87)
Dunia ini luas, demikian pula dengan orang-orang yang mencintai kita. Kegagalan cinta bukan berarti kita tidak berhak bahagia atau tidak bisa meraih kebahagiaan. Bila hari ini Allah belum mempertemukan kita dengan orang yang kita cintai, insyaAllah ia akan datang esok atau lusa, atau kapanpun Ia menghendaki, itu adalah bagian dari skenario-Nya. Dan yang perlu diingat, sobat, 'Semua itu memang telah terjadi, tapi semua itu belum berakhir'. So, segera nyatakan cinta sebelum terlambat.

=bersambung>> #3
=berbalik>> #1
Semua Tentang Cinta . . . . . #1

Bagai matahari yang terbit waktu fajar di ufuk timur, sinar cahanya menerangi rerumputan hijau dan bunga yang berkuncup di atas puncak gunung mimpi. Lalu ia akan bermekaran, menebarkan semerbak aroma wangi alam segar. Kumbang pun akan berterbangan menikmati madu yang menggoda. Langit biru terbentang luas dihiasi awan putih yang lembut. Burung pun berkicau merdu, sambil mengepakkan sayap putihnya. Awal yang indah dalam setiap sanjungan cinta.

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, adakah yang lebih menyiksa dari jiwa yang dirajam asmara? Adakah yg lebih membiru dari sukma yang diracun rindu? Adakah yang lebih membara dari kalbu yang dipenjara cinta? Allah memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Allah hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Allah telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya, itulah yang namanya CINTA.

Tapi, suatu ketika...
“Afwan Jiddan, Akhi. Bukannya saya tidak menghormati permintaan akhi. Tapi rasanya kita cukup menjalin ukhuwah saja dalam perjuangan. Saya doakan semoga akhi menemukan pasangan lain yang lebih baik dari saya.”
Amboi... Allhu Akbar, bagaimana rasanya bila kalimat di atas dialami oleh para ikhwan? Bisa saja langit terasa runtuh, hati berkeping-keping. Sang pujaan hati yang kita harapkan menjadi teman setia dalam mengarungi perjalanan hidup menampik khitbah kita. Segala asa yang pernah coba ditambatkan akhirnya karam. Cinta suci sang ikhwan bertepuk sebelah tangan. Ditolak? Emang enak! Wah, mungkin demikian pikiran sebagian ikhwan. Malu, kesal dan kecewa menjadi satu. Tapi itulah bentuk ‘perjuangan' menuju pernikahan. Kita tidak akan pernah tahu apakah sang pujaan menerima atau menolak kita, kecuali setelah mengajukan pinangan padanya. Manakala ditolak tidak usah malu, bukan cuma kita yang pernah ditolak, banyak ikhwan yang ‘senasib' dan ‘sependeritaan'. Saatnya berjiwa besar ketika ditolak. Tidak perlu merasa terhina. Demikian pula saat banyak orang tahu hal itu. Bukankah apa yang kita lakukan adalah sesuatu yang benar? Mengapa mesti malu.

Ya, drama kehidupan menuju mahligai pelaminan memang beragam. Ada yang menjalaninya dengan smooth, amat mulus, tapi ada yang berliku penuh onak duri, bahkan ada yang pupus ditengah perjalanan karena cintanya tak bertaut dalam mahligai pernikahan.

Ini bukan saja dialami oleh para ikhwan, kaum akhwat pun bisa mengalaminya. Bedanya, para ikhwan mengalami secara langsung karena posisi mereka sebagai subyek/pelaku aktif dalam proses mengkhitbah. Sehingga getirnya kegagalan cinta –seandainya memang terasa getir- langsung terasa. Sedangkan kaum akhwat perasaanya lebih aman tersembunyi karena mereka umumnya berposisi pasif, menunggu pinangan. Tapi manakala sang ikhwan yang didamba memilih berlabuh dihati yang lain kekecewaan juga merebak dihati mereka, atau sang ikhwan idaman tak kunjung pula datang kegelisan juga akan menyelimuti hati mereka.

Akhi wa ukhti fillah rahimakumullah, siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia. Dengannya, manusia bukan onggokan daging dan tulang belulang. Ia juga bukan robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki aneka emosi jiwa. Ia bisa bergembira tapi juga bisa kecewa.

=bersambung>> #2
Gaya Hidup Bunuh Diri

Bunuh diri, dewasa ini ia telah menjadi fenomena menarik tapi miris di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bahkan telah menjadi sebuah gaya hidup baru. Bayangkan saja, setiap hari media massa meliput berita bunuh diri, mulai dari bom bunuh diri, gantung diri, tidur di rel kereta api, lompat dari gedung berlan-lantai, dan lain sebagainya. Sehingga saya dan teman-teman pun sempat mendiskusikannya.

"Bunuh diri adalah haram, apa pun maksud, tujuan dan penyebabnya, kecuali untuk jihad fisabilillah di daerah konflik seperti yang terjadi di Palestina dan Afganistan -tidak berlaku untuk aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia." Itulah garis besar kesimpulan dari diskusi saya dengan teman-teman di Kampus.

Hati saya bergejolak.
Bunuh diri memang tidak bisa dibenarkan oleh Islam. Akan tetapi, cobalah kita merasakan seakan-akan kita adalah ORANG yang mengalami masalah tersebut, mendapat tekanan ekonomi, sosial dan budaya, -contoh kasus lihat Jawa Pos hal.13, Rabu 14 April 2010-. Kita sudah berusaha mencari kerja, tetapi pekerjaan tak jua kita dapatkan. Kita sudah meminta bantuan kerabat, tetapi ternyata mereka tak sudi menolong kita. Kita sudah mencari pinjaman uang untuk membeli nasi dan lauk-pauk demi anak dan istri kita, tetapi ternyata tak ada satupun orang yang bisa menolong kita. Mungkin, ya, mungkin kalau kita terus berusaha, kita akan mendapatkan pinjaman uang atau apa pun istilahnya, tetapi bukankah lapar tidak bisa terus-menerus diredam dengan pinjaman? Kita bisa saja kuat untuk tidak makan berhari-hari, tetapi anak-anak kita yang masih kecil bukankah tidak sekuat kita?

Seorang teman memvonis -atau bahkan Antum wa Antumna juga," Salah sendiri orang itu. Sudah tahu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, masih juga nekat berumah tangga dan beranak pinak..."

Astaghfirullah, pilu hati saya mendengar vonis seperti itu. Bagaimana mungkin kita menyalahkan orang yang berumah tangga dan memiliki anak, sedangkan cinta dan kasih sayang adalah fitrah yang telah ditanamkan Allah swt pada hati setiap hamba-Nya?

Jikalau dua sejoli bunuh diri gara-gara hubungan cintanya tidak direstui orang tuanya -lihat Jawa Pos hal 13, Rabu 14 April 2010-, bisa diterima oleh akal sehat bahwa bunuh diri yang seperti itu adalah konyol. Jikalau dilihat dari nilai keharamannya, bunuh diri jenis itu tentu sangat haram sekali hukumnya. Tetapi, apa yang terjadi dengan ORANG yang bunuh diri tadi? Bunuh diri dilakukannya sebab dia merasa sudah tiada jalan lain untuk bisa menyelamatkan keluarganya.

Orang itu memang tetap akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt, kelak di akhirat. Akan tetapi, orang-orang yang dekat dengan lelaki itu -entah kerabat atau tetangganya yang (tentu) tahu masalah ekonomi orang tersebut- juga akan digiring ke pengadilan Ilahi oleh sebab akhlak mereka yang buruk karena tidak mau memberikan bantuan kepada keluarga yang malang itu.

Sekarang, marilah kita serahkan urusan tersebut kepada Allah swt, sebab Dialah Sang Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya. Marilah kita belajar bahwa di tengah-tengah lapang dan luasnya rizeki yang diberikan Allah kepada kita, banyak saudara kita yang tercekik karena tekanan ekonomi, sosial dan budaya. Membiarkan mereka sama saja dengan membunuh mereka! Tak ada bedanya antara dia yang bunuh diri dengan orang-orang yang menyebabkan hal itu terjadi.

Menjunjung tinggi bisa beragama adalah penting. Tetapi, berakhlak dengan akhlak agama yang benar juga penting. Kita tidak bisa terus-menerus menyibukkan diri dalam ibadah-ibadah vertikal kita di satu sisi, dan membiarkan saudara-saudara kita menjerit meminta tolong di sisi lain. Bagaimana bisa kita membaca kalam-kalam Ilahi, sedangkan terdengar jelas di telinga kita tangisan si anak tetangga kita yang kehausan dan kelaparan? Bagaimana bisa diantara kita berkali-kali naik haji, sedangkan ada tetangga kita yang tidak bisa membeli beras?

Apa yang mau kita banggakan di hadapan Allah? Ibadah-ibadah kita kah?

Daripada kita mencaci, menghujat, memvonis, atau menyalahkan orang yang bunuh diri gara-gara tekanan ekonomi, sosial dan budaya, lebih baik bagi kita semua adalah bermuhasabah. Siapa tahu shalat kita, puasa kita, haji kita, atau Ibadah vertikal kita yang lain tidak bernilai di hadapan Allah sebab akhlak kita kepada saudara, orang tua, tetangga, dan kepada semua makhluk ciptaan Allah swt ternyata buruk. Hati kita seringkali dikerubuti oleh buruk sangka, jiwa kita dikotori oleh umpatan dan makian.
Rasulullah pernah berpesan," Ketika Allah swt menciptakan iman, iman berdoa,'Yaa Allah, kuatkan aku.' Maka Allah memperkuatnya dengan akhlak yang baik dan kedermawanan. Ketika Allah menciptakan kekufuran, kekufuran berdoa,'Yaa Allah, kuatkan aku.' Maka Allah memperkuatnya dengan kebakhilan dan akhlak yang buruk."
Maka, yang dosa dan salah, biarlah diputuskan oleh Allah swt kelak di pengadilan-Nya. Tidak perlu mendosa-dosakan dan menyalah-nyalahkan orang lain. Sebab, siapa tahu diri kita masih banyak dilumuri dosa dan kesalahan. Sudah begitu, bisa jadi dosa dan kesalahan kita bertambah-tambah dengan cara mendosa-dosakan dan menyalah-nyalahkan sesama hamba-Nya. Dan yang perlu diperhatikan secara serius adalah bahwa tekanan ekonomi, sosial dan budaya yang melanda saudara kita (masyarakat Indonesia) itu disebabkan oleh Pemerintah dan Sistem Pemerintahannya yang telah nyata-nyata gagal menyejahterakan rakyatnya.
Tak Kenal Maka Ta'aruf

Saya adalah seorang Ikhwan
yang sedang mencari hakikat cinta,
mencari makna hidup, dan mencari arti kehidupan.
Saya adalah seorang Ikhwan
yang sedang belajar mencintai dan dicintai,
belajar memahami dan dipahami,
serta belajar menghormati dan dihormati.

Jikalau esensi Pengetahuan adalah Ilmu, esensi Ilmu adalah Amal, esensi Amal adalah Ibadah, esensi Ibadah adalah Ikhlas. Lalu, apa bentuk esensi Hidup? Ternyata,.. Hidup adalah sebuah Esensi, dan esensi Hidup adalah adalah Kita. Suatu hari kita akan sampai pada kesadaran bahwa kita juga hanyalah sebuah Esensi yang tidak membutuhkan hal lain kecuali CINTA. Cinta dari Allah, oleh Allah, untuk Allah, dan karena Allah.

Saya adalah seorang Ikhwan
yang tak mau menyebut nama,
karena khawatir semua mutiara
yang ada
di samudera ini,
tiada berguna dan tiada bermakna.
Biarlah waktu yang memberitahu
siapa saya sebenarnya.

Selamat datang di Mutiara Hati, salam ukhwah Islamiyah. Mutiara Hati hanyalah sebuah nama pena, sebuah nama yang di pandang sebelah mata, namun kaya akan makna. Semangat berenang dan menyelam muara Hikmah di samudera CINTA, tapi jangan sampai tenggelam. Semoga memberi keteduhan dan kelembutan, memberi pencerahan dan penerangan. Serta, semoga dapat mengobati luka, duka, dan derita. Semua yang indah datangnya hanya dari ALLAH, dan yang salah datangnya pasti dari saya, mohon maaf jikalau ada mutiara yang kurang berkenan di hati Antum wa Antumna... saya juga manusia.
Keluarga SaMaRa

Kenapakah Engkau menikahiku?
...karena Aku ingin memilikimu,
Kenapakah Engkau ingin memilikiku?
...karena Aku membutuhkanmu,
Kenapakah Engkau membutuhkanku?
...karena Aku mencintaimu,
Kenapakah Engkau mencintaiku?
...karena Aku memilihmu,
Kenapakah Engkau memilihku?
...karena Aku mengagumimu,
Kenapakah Engkau mengagumiku?
...karena Aku menemukanmu,
Kenapakah Engkau menemukanku?
...karena Aku mencarimu,
Kenapakah Engkau mencariku?
...karena Aku peduli pada calon anak-anakku.

Lantas, apa hubungannya denganku?!?

Istriku,
Telah lama Aku berkelana untuk mencari wanita sepertimu,
mencarimu(yang dulunya) hanya untuk menemukanmu.

Entah berapa delta waktu yang telah kutempuh,
...akhirnya Aku pun menemukanmu.
Entah berapa sketsa kehidupan yang telah kusaksikan,
...hingga Aku pun mengagumimu.
Entah berapa warta yang telah kudengar,
...hingga Aku pun memilihmu.
Entah berapa sigma perasaan yang telah kupadukan,
...hingga Aku pun mencintaimu.
Entah berapa probabilitas yang telah kupertimbangkan,
...hingga Aku pun membutuhkanmu.
Entah berapa munajat yang telah kupanjatkan,
...hingga Aku pun ingin segera memilikimu.
Entah berapa 'azzam yang telah kukuatkan,
...hingga akhirnya Aku pun menikahimu.

o0H...!!!
Pantaskah Aku, Engkau miliki hingga Engkau nikahi!!!
pantas..., karena sinar keimananmu yang menyilaukan mata hatiku.
Pantaskah Aku, Engkau cintai hingga Engkau butuhkan!!!
pantas..., Aku mencintaimu karena Aku membutuhkanmu, dan Aku membutuhkanmu karena Aku mencintaimu.
Pantaskah Aku, Engkau kagumi hingga Engkau pilih!!!
pantas..., seperti halnya Aku mengagumi sosok Hajar ra, Khadijah ra, 'Aisyah ra, dan Fatimah ra.
Pantaskah Aku, Engkau cari hingga Engkau temukan!!!
pantas..., karena Aku tidak mencari Istri untuk diriku, tapi Aku mencari Ibu untuk anak-anakku.

Suamiku, maafkan Aku. sebelum kedatanganmu, Aku pernah mencintai seseorang yang tak kutahu dan tak kukenal. seseorang yang baik budi pekertinya, luas pemahaman agamanya, mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. seseorang itu adalah Engkau, Suamiku. Engkaulah yang Aku tunggu(hingga Aku lelah dalam penantian) untuk menjadi Imam bagiku dan juga anak-anakku, mulai sekarang Aku baktikan hidup-matiku padamu, dan Aku serahkan jiwa-ragaku hanya untukmu. Alhamdulillahi Rabbil 'Alamiin...
Untukmu, wahai Ukhti...


Ukhti...
Bukan dari tulang ubun engkau dicipta,
sebab bahaya menjadikanmu dalam sanjung dan puja;
tak juga dari tulang kaki,
sebab nista menjadikanmu diinjak dan diperbudak.
Tetapi dari tulang rusuk kiri,
dekat ke hati untuk dicintai,
dekat dengan lengan untuk dilindungi.

Ukhti...
Banyak hal yang indah memang memerlukan waktu yang tak singkat,
dan penantian yang tak pasti.
Akan tetapi, percayalah!
Walaupun menunggu membutuhkan pengharapan,
Namun tetap menjanjikan satu hal yang tak dapat seorang pun bayangkan.

Ukhti...
Bunga mawar tak mekar dalam semalam,
namun bisa layu dalam sedetik.
Kota Palestina tak dibangun dalam sehari,
namun bisa hancur dalam sekejap.
Perkawinan tak dirajut dalam pertimbangan sesaat,
namun bisa saja musnah, juga dalam sesaat..!

Ukhti...
Haruskah terus tetap menunggu di tengah usia yang semakin senja?
Jawabannya ada pada diri engkau.
Pastinya, menunggu mempunyai suatu tujuan yang mulia dan misterius.
Menguji kadar iman dan takwa, belajar meniti sabar dan ridha.
Seribu kali gagal, seribu satu kali mengulangi.
Namun, menyegerakan untuk menyempurnakan separuh agama juga tak kalah mulia.

Ukhti...
Janganlah engkau sampai kehilangan jati diri dalam proses penantian itu.
Jikalau ingin berlari, belajarlah berjalan dahulu.
Jikalau ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu.
Jikalau ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu.
Tentunya, tetap lebih baik menunggu ikhwan yang tepat.
Ikhwan yang engkau inginkan,
Ikhwan yang engkau idamkan.
Meski ia tidaklah secerdas Ali ra,
tidaklah semulia Muhammad ra,
tidaklah setegar Ibrahim ra.
Yang terpenting, ia adalah pilihan akhir zaman.

Dan ingatlah, yaa Ukhti...
Engkau bukanlah Fatimah ra yang begitu istimewa dalam sederhana,
Bukan Khadijah ra yang begitu sempurna dalam menjaga,
Bukan pula Maryam ra yang begitu mulia dalam aniaya,
Pun bukanlah Hajar ra yang begitu setia dalam sengsara.
Engkau hanyalah seorang wanita biasa,
yang terus berusaha menjadi sholehah seperti Mereka.
Prasasti Cinta

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, jangan pernah berharap cobaan, ujian, rintangan, hambatan, masalah, kesulitan, atau apapun namanya, berhenti menghampiri. Sebab hidup ini adalah ruang dan masa cobaan berlangsung. Oleh karenanya, kehidupan cinta kita pasti dihampiri oleh cobaan. Selalu, susul menyusul tak pernah berhenti.

Cinta tak lain sebuah prasasti,
Yang terbangun di pinggir pantai prahara duniawi.
Satu hal yang membuatnya tetap kokoh berdiri,
Ialah keteguhan hati tuk selalu setia mencintai.

Namun keteguhan hati pecinta sejati jauh lebih kuat dari setiap ombak yang datang bagaikan sebuah benteng kokoh nan tinggi yang mengelilingi prasasti cinta. Keteguhan hati melahirkan ketulusan hati, ketulusan hati melahirkan kelembutan hati, dan kelembutan hati melahirkan kehalusan hati. Lalu, kehalusan hati melahirkan kesetiaan, kesetiaan untuk mendampingi belahan jiwa dalam setiap gelombang kesulitan, kesetiaan untuk turut mengambil porsi duka yang menimpa, dan kesetiaan untuk tetap saling mencintai hingga bertemu kembali di surga Ilahi.

Usap jiwa pecinta dari setiap peluh,
Seka tetes-tetes kesedihan yang melahirkan keluh,
Lalu membawanya ke tempat teduh,
Jauh dari bising prahara dan nestapa yang riuh.

Sobat, bukan lagi dua hati, jika cinta sejati telah merasuk sempurna. Musibahnya adalah musibah kita. Tangisnya adalah tangis tangis kita. Kesedihannya adalah kesedihan kita. Duka lara yang melingkupinya, adalah duka lara yang melingkupi kita. Semua terjadi begitu saja. Secara alami. Sebab cinta telah meleburkan dua hati menjadi satu. Cinta selalu memberi isyarat halus kepada kita. Jika hati kita telah menggenggam cinta, dan cinta memeluk kita, maka isyarat kesedihan belahan jiwa kita selalu mudah kita baca. Bahkan sebelum air mata pertama belahan jiwa kita menetes, kedua pipi kita telah basah oleh air mata cinta. Semua terjadi begitu saja. Ya, begitu saja...
Munajat Cinta

Yaa Allah...
Aku mohon kepada-Mu, cinta-Mu...!
Cinta siapa saja yang mencintai-Mu...
Cinta apa saja yang mendekatkanku kepada cinta-Mu...
Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku,
Daripada air dingin bagi orang yang kehausan.

Yaa Allah...
Hidupkan aku dengan kehangatan cinta-Mu...
Matikan aku dengan kelembutan cinta-Mu...
Bangkitkan aku dengan kekuatan cinta-Mu...
Cintaku pada-Mu, masih tetap menunggu cinta-Mu...

Yaa Ilahi...
Jikalau cintaku Kau ciptakan untuk dia,
Tabahkan hatinya...
Teguhkan imannya...
Tegarkan penantiannya...

Yaa Rabbi....
Jikalau hatiku Kau ciptakan untuk dia,
Penuhi hatinya dengan kasih-Mu...
Terangi langkahnya dengan cahaya-Mu...
Temani dia dalam kesepian dan kesendirian...

Yaa Ilahi, Rabbi...
Kutitipkan cintaku pada-Mu untuknya...
Resapkan rinduku pada rindunya...
Mekarkan cintaku bersama cintanya...
Satukan hidupku dan hidupnya...
Dalam cinta-Mu...
Sebab,...
Cintaku padanya, dari-Mu.
Cintaku padanya, oleh-Mu.
Cintaku padanya, untuk-Mu.
Cintaku padanya, karena-Mu.
Nyatakan Cinta, bukan Katakan Cinta...!

Takkan pernah meyakinkan
Cinta diungkapkan dengan lisan
Sebab cinta adalah bunga-bunga perasaan
Hanya sikap yang berhak menjelaskan

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, Cinta itu indah, cinta itu dahsyat. Namun demikian, cinta harus dimaknai dan dipahami secara benar. Bukan secara salah. Memaknai dan memahami cinta secara salah akan menyengsarakan dan merugikan diri sendiri dan orang lain. Maka, pahamilah cinta sejati secara benar dengan cara yang benar. Agar tidak terjerumus kedalam jurang kesengsaraan yang membelenggu.

"Dasar laki-laki, dimanapun sama saja. Sama-sama hidung belang, mata keranjang, buaya darat." kata teman perempuan saya waktu SMA dulu, sebenarnya saya tersinggung dengan kata-kata itu, karena dia telah men-generalisir bahwa semua lelaki sama, itu artinya label 'Hidung Belang', 'Mata Keranjang', dan 'Buaya Darat' juga disematkan pada saya. Namun, saya juga mendengar jeritan hati teman laki-laki saya, "Kurang ajar, dasar perempuan ganjen, matre. Habis manis sepah dibuang".

atau...
Seorang suami yang sering berkata kasar. Jarang sekali bersikap lembut. Tidak pernah mencium pipi atau kening sebelum berangkat kerja. Tidak pernah mendengar keluhan hati isteri secara serius. Tidak pernah memberikan gift yang menyegarkan bunga-bunga keceriaan sebagai wanita. Dan serta seorang Isteri yang sering mengomel. Suka menggerutu. Suka mengeluh hal-hal sepele. Bahkan dia bukan hanya mengeluhkan keadaan, namun juga mengeluhkan belahan jiwanya. Dia tidak bersyukur dengan nafkah yang diterimanya padahal sang Suami telah bersusah payah setiap hari.

Pernahkah Antum wa Antumna juga melihat, mendengar, dan merasakan fenomena di atas!

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, anggap saja jika kita berada pada posisi yang tidak menguntungkan pada fenomena di atas, atau dengan kata lain kita jadi korbannya, menjadi perempuan yang sakit hati terhadap seorang laki-laki buaya darat, menjadi laki-laki yang dikecewakan oleh seorang perempuan ganjen/matre, menjadi istri atas suami yang tidak bersikap lembut, dan menjadi suami atas istri yang berkhianat. Coba bayangkan dan rasakan! Jika suatu hari si Dia mengucapkan bahwa dia mencintai kita, apakah kita yakin dan percaya sepenuhnya bahwa si Dia benar-benar mencintai kita?

Sobat, tentu saja nurani kita tidak sepenuhnya yakin dan percaya akan kata-kata cinta yang diujarkannya. Sebab cinta adalah perasaan yang menghujam jauh ke dalam lubuk hati yang di”nyata”kan dalam sikap, perbuatan serta karya nyata sehari-hari berdasarkan garis besar haluan islam, bukan sekedar kata-kata. Oleh karena itu, renungkanlah dan evaluasilah diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk pecinta sejati atau pecinta picisan/gadungan? Pecinta sejati menyatakan cinta, sedangkan pecinta gadungan mengatakan cinta.
R.A.P.U.H

Meski ku rapuh dalam langkah
kadang tak setia mencintai-Mu
Namun cinta dalam jiwa
Hanyalah pada-Mu

Maafkan bila hati
Tak sempurna mencintai-Mu
Dalam dada kuharap hanya
Diri-Mu yang bertahta

Cintaku pada-Mu
masih tetap menunggu cinta-Mu

.o0o.

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, di atas itu adalah sebagian lirik lagu yang berjudul "Rapuh" dari Album Yaa Rahman-nya Opick dengan sedikit tambahan di kalimat terakhir. Entah sudah berapa kali saya mendengarkan lagu "Rapuh", semakin lama saya mendengarnya, semakin rapuh jiwa ini dibuatnya. Seringkali tak terasa air mata ini meleleh membasahi kedua pipi ketika mendengar dan mencerna lirik lagu tersebut.

Terbayang jelas di pelupuk mata saya, dosa dan kesalahan yang telah ku perbuat, baik sadar maupun nirsadar. Tergambar jelas bagaimana saya, sebagai seorang anak pernah -atau malah sering- menyakiti perasaan kedua orang tua saya, dan belum bisa membahagiakannya. Terbingkai jelas bagaimana saya pernah menjerit keras ketika jiwa saya tak sanggup untuk menerima takdir yang telah Allah gariskan kepada hidup saya.

Demi Allah, saya demikian kerdil di hadapan ke-Maha-an-Nya. Apa yang bisa saya sombongkan di hadapan kebesaran-Nya? Bagaimana bisa diri merasa angkuh ketika jiwa ini berada di dalam genggaman-Nya? Tatkala saya menerima anugerah kebahagiaan, saat itu saya lupa terhadap-Nya. Tetapi, tatkala saya ditimpa musibah dan bencana, buru-buru saya memanggil-manggil nama-Nya. Saya seru nama-Nya seakan-akan saya tidak pernah melupakan-Nya, saya panggil nama-Nya seakan-akan saya telah dicintai-Nya.

Setiap kali lagu "Rapuh" terdengar di telinga saya, setiap itu pula saya semakin sadar bahwa saya tidak punya apa-apa. Tiada sesuatu yang dapat saya pamerkan di hadapan-Nya. Saya merasa bahwa semua yang telah saya lakukan, semua yang telah saya usahakan, dan semua yang telah saya jalani belum tentu diterima-Nya. Sering saya ucapkan bahwa saya adalah hamba-Nya. Saya tipu Dia, seakan-akan Dia bisa ditipu. Saya kelabui Dia, seakan-akan Dia bisa dikelabui. Saya teriakkan nama-Nya hanya sebatas teriakan di bibir. Hati saya masih digelisahkan dengan urusan-urusan duniawi. Uang, Harta, Tahta, dan popularitas tampak lebih menarik daripada kerajaan surga yang dijanjikan-Nya.

Astaghfirullah, bagaimana diri ini akan membela di hadapan-Mu, yaa Rabb? Dengan apa pembelaan ini akan daku lakukan, padahal setiap dzarrah diriku tak bisa luput dari penglihatan-Mu? Setiap kehendak yang tertanam dalam hatiku tak pernah luput dari penglihatan-Mu? Setiap keping dari perbuatanku tak bisa lepas dari ilmu-Mu? Kemana daku hendak berlari, sedangkan tiada satu pun tempat di semesta-Mu yang tidak Engkau ketahui?

Ampuni daku, Yaa Allah...
Ampuni dosa-dosa dan kesalahanku, kasihanilah daku dan keterasinganku, temanilah kesendirianku, tenangkanlah ketakutanku, dan anugerahkanlah kepadaku salah satu dari rahmat-Mu, yang dengannya daku merasa cukup dari menuntut cinta dan kasih sayang selain-Mu, serta kumpulkanlah daku bersama-sama orang-orang yang Engkau cintai.

Sungguh, baru kusadari betapa hinanya diriku di hadapan-Nya. Walau aku timbang perbuatan baikku, itu tidaklah cukup berat bila dibandingkan dengan amal burukku. Lalu... Bagaimana denganmu, wahai Sobat Mutiara Hati?
  • Berlangganan

    Sahabat yang ingin mutiara-mutiara ini langsung terkirim ke Email Sahabat, silahkan masukkan Email disini:

    Kacamata Dunia

    free counters