Istikharah Cinta

Hatiku menghempaskan ombak-ombaknya
di Pantai Dunia Dakwah Islamiyah,
dan menuratkan di atasnya tanda tangan tinta dan airmata
bersama seucap kata,
“Aku merindukanmu karena Allah.”

Tak kau dengarkah langkah-langkahku yang bisu? aku datang, datang, selalu datang setiap saat dan setiap waktu, setiap malam dan setiap siang, setiap hari dan sepanjang hari. Banyak persembahan yang telah ku kidungkan dalam setiap suasana jiwaku, tetapi aku tak tahu darimana engkau makin dekat untuk kutemui? Aku yakin, yakin, dan selalu yakin bahwa suatu saat mentari dan bintang gemintang takkan mampu lagi membiarkanmu tersembunyi dariku. Dalam banyak pagi dan petang, langkah-langkahmu telah mulai terdengar ke dalam hatiku dan memanggilku secara rahasia.

Keheningan lautan pagi dipecahkan oleh ceracau kidung burung; dan bunga-bunga semuanya bersuka ria di tepi jalan; dan kekayaan emas ditebarkan melalui celah awan-awan, sementara aku tak tahu mengapa akhir-akhir ini hidupku seluruhnya terjaga, dan sebuah rasa gembira yang menggetarkan melintas melalui hatiku. Ia bagai waktu yang datang agar aku segera menyempurnakan separuh agama ini, dan aku merasakan semerbak samar-samar keharuman kehadiranmu di udara.

Sang surya merangkak ke tengah langit dan burung dara mendengkur dalam naungannya, daun-daun kering menari-nari dan berputar-putar di udara siang yang menyengat. Akhirnya aku pun menemukanmu, engkaulah yang ku dambakan, hanya engkau hatiku merindukannya tanpa henti; seperti malam yang tetap tersembunyi dalam permohonannya akan terang cahaya siang, demikian jualah di kedalaman nir-sadarku bergema munajatku mendambakanmu, hanya Engkau, wahai titisan Fatimah az-Zahra; seperti badai yang masih mencari jalanya dalam ketentraman kala ia menyerang ketentraman dengan sekuat tenaga, demikian jualah pergolakan cintaku padamu dan doa-doaku masih mendambakanmu, hanya engkau, wahai calon mar'atus sholihah.

Kala siang telah berlalu, dan burung-burung tak lagi berkicau, dan angin yang berkejar-kejaran pun telah lunglai kelelahan, maka tirai kegelapan yang tebal dibentangkan padaku. Aku harus segera melabuhkan cintaku dan memulai melayarkan perahuku bersamamu, oleh karenanya aku bermaksud meminangmu, tetapi aku tak berani dan aku tak punya nyali. Lalu ku urungkan niatku, ku tunggu hingga esok hari.

Di pagi yang masih buta telah dibisikkan bahwa aku akan berlayar dalam perahu, berlayar di samudera yang tak bertepi, dalam senyummu yang kian mendengar kidunganku akan semakin lincah dalam melodinya, bebas laksana gelombang, bebas dari semua perbudakan kata-kata. Tetapi entah kenapa aku tetap tak berani? tetap tak punya nyali? Yah, mungkin karena hanya perahu yang ku miliki, bukan kapal mewah seperti Titanic, sehingga aku tak berani dan tak punya nyali.

Jiwaku bergejolak dan memberontak, "Belum tibakah saatnya? Masih adakah amanah yang harus menunggu diselesaikan? Lihat, senja telah menyelimuti pantai dan bersama pudarnya cahaya burung-burung camar terbang kembali ke sarangnya. Siapa yang tahu si Dia tidak tak akan tetap menunggu kehadiranmu? Boleh jadi si Dia akan berlayar dengan perahu yang lain! tak ingatkah kau dengan janji Tuhanmu,
“...Dan nikahkanlah orang-orang yang membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui...”
(QS an-Nuur: 32)
Yaa Ilahi... demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Mu, bukannya aku tak percaya akan janji-Mu, daku teramat sangat yakin atas janji-Mu, karena itu adalah sebuah kepastian. Tapi yang membuatku tak berani dan tak punya nyali adalah apakah si Dia juga yakin akan janji-Mu? dan apakah si Dia akan menerima daku apa adanya, bukan adanya apa?

Yaa Allah, yaa Rabbi...
Jikalau memang telah Engkau catatkan dia tercipta buatku...
Seandainya telah Engkau gariskan dia menjadi bidadariku...
Maka jodohkanlah kami,
Satukanlah hatinya dengan hatiku.
Selipkanlahlah kebahagiaan di antara kami,
Agar kemesraan itu terjadi dan abadi.

Tetapi...
Yaa Allah, yaa Ilahi...
Jikalau memang telah Engkau tetapkan dia bukan Mujahidahku...
Seandainya telah Engkau takdirkan dia bukan Ibu dari anak-anakku...
Bawalah dia pergi jauh dari pandanganku,
Hapuskanlah dia dari ingatanku,
Dan serta periharalah daku dari kekecewaan ini.

Yaa Allah, Yang Maha Mengerti...
Berikanlah daku kekuatan,
Menolak bayangannya jauh sejauh-jauhnya dari lubuk hati,
Hilang bersama senja yang memerah,
Agar daku senantiasa tenang dan senang,
Walaupun tak bersanding dengannya di pelaminan.
Karena ku yakin, Engkau akan menggantikannya dengan yang jauh lebih baik...

Yaa Allah, Yang Maha Cinta...
Ku pasrahkan hidup dan kehidupanku pada Qadla dan Qadhar-Mu.
Cukuplah hanya Engkau yang menjadi pemeliharaku, di dunia dan akhirat...
Dengarkanlah rintihan hati dari hamba-Mu yang dhaif ini,
Dengarkanlah goresan hati dari hamba-Mu yang naif ini,
Jangan Engkau biarkan daku sendirian, di dunia ini maupun di akhirat...
Di tengah-tengah kehidupan yang liberalistik, kapitalistik, dan hedonistik ini...
Banyak hamba-Mu yang terjerumus ke lembah kehinaan,
Tak sedikit hamba-Mu yang terjerembab di lembah kenistaan,
Dengan berbagai macam jalan kemaksiatan, kemungkaran, dan kekufuran...
Maka karuniakanlah daku seorang Mar'atus Shalihah,
Agar daku dan dia bersama-sama membela kemuliaan agama-Mu,
Agar daku dan dia bersama-sama dapat membina kesejahteraan hidup,
Ke jalan yang Engkau ridhai...
Dan karuniakanlah kepadaku keturunan yang shaleh dan shalehah,
Keturunan yang siap menjadi mujahid dan mujahidah,
Keturunan yang berani memperjuangkan Syariah dan Khilafah.

Yaa Allah, yaa Arhamar Rahimiin...
Perkenankanlah...
Kabulkan...

Amiin... Amin...
Yaa Rabbal ‘Alamiin...
Dilema Cinta

Cinta yang cepat timbul dan cepat lenyap,
yaitu cinta yang di dorong oleh kenikmatan.
Cinta yang lama timbul dan cepat lenyap,
yaitu cinta yang didorong oleh kepentingan.
Cinta yang cepat timbul dan lama lenyap,
yaitu cinta yang didorong oleh kebaikan.
Cinta yang lama timbul dan lama lenyap,
yaitu cinta yang didorong oleh kenikmatan, kepentingan, dan kebaikan.

Begitulah pesan Ibnu Hazm kepada kita, sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, kenapa kita menutup mata ketika kita bersedih dan menangis? dan ketika kita membayangkan sesuatu? Itu karena hal terindah di dunia ini tidak terlihat. Ketika kita sengaja(tidak) bertemu seseorang yang sanggup mengalihkan dunia kita, kita akan kagum bin takjub padanya serta jatuh ke dalam suatu keanehan yang dinamakan cinta. Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan, ada hal-hal yang tidak bisa kita lupakan, dan ada hal-hal yang tidak sanggup kita tinggalkan. Tapi ingatlah, semua ‘hal-hal’ itu belum HALAL bagi kita jikalau masih belum ada ijab-qabul. Mencintai orang yang kita kagumi adalah sebuah kewajaran, TAPI mencintai pasangan hidup kita adalah sebuah kewajiban. Oleh karenanya, segeralah menikah dengan Dia atau nikahilah Dia. Namun, jikalau belum siap, berpalinglah dari Dia. Berpaling bukan akhir sebuah kehidupan, melainkan awal suatu kehidupan yang baru. Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis, mereka yang disakiti, mereka yang telah mencari, mereka yang telah mencoba, dan mereka yang telah berusaha. Karena merekalah yang bisa menghargai betapa pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan mereka. Mencintai bukanlah bagaimana kita melupakan, melainkan bagaimana kita memaafkan; Bukanlah bagaimana kita mendengarkan, melainkan bagaimana kita mengerti; Bukanlah apa yang kita lihat, melainkan apa yang kita rasakan; Bukanlah bagaimana kita melepaskan, melainkan bagaimana kita bertahan; dan bukanlah bagaimana kita meninggalkan, melainkan bagaimana kita mengikhlaskan.

Entah bagaimana lika-liku perjalanan kehidupan, kita belajar tentang diri sendiri dan menyadari bahwa penyesalan tidak seharusnya ada, yang ada hanyalah penghargaan abadi atas pilihan-pilihan kehidupan yang telah kita buat. Cinta yang agung, adalah ketika kita meneteskan air mata dan masih peduli terhadapnya; adalah ketika dia tidak mempedulikan kita, dan kita masih berharap dan menunggunya dengan setia; adalah ketika dia memilih mencintai orang lain dan kita masih bisa tersenyum seraya berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’. Cinta boleh saja bangga bisa mengalahkan logika, tetapi cinta seringkali harus rela bertekuk lutut di hadapan realita. Kita memang mungkin telah menemukan cinta dan tidak mau kehilangan, tapi ketika cinta itu ‘belum/tidak halal’ dan atau realita yang tidak kita inginkan, kita tidak perlu menghalalkan segala cara, karena yang halal sudah teramat sangat jelas, dan yang haram pun juga teramat sangat jelas. Orang yang kuat bukan mereka yang selalu menang, melainkan mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh.

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, kekasih sejati mengerti ketika kita berkata ‘aku lupa…’, menunggu selamanya ketika kita berkata ‘tunggu sebentar’, tetap tinggal ketika kita berkata ‘tinggalkan aku sendiri’, membuka pintu meski kita belum mengetuk dan berkata ‘bolehkah saya masuk?’. Memang… dalam urusan cinta, kita seringkali tersandung oleh realita. Tapi jikalau cinta kita tulus, meskipun kalah oleh realita, kita akan tetap merasa menang hanya karena kita berbahagia dapat mencintai seseorang lebih dari diri kita sendiri. Akan tiba saatnya dimana kita harus berhenti mencintai seseorang bukan karena orang itu berhenti mencintai kita atau tidak mencintai kita, melainkan karena kita menyadari bahwa orang itu akan lebih berbahagia apabila kita berpaling darinya, dan yang lebih penting adalah melainkan karena kita menyadari bahwa cinta-Nya jauh lebih agung dari segala jenis cinta. Apabila kita benar-benar mencintai seseorang, berjuanglah atas nama cinta dari Allah, oleh Allah, untuk Allah, dan karena Allah. Itulah cinta sejati.

Namun terkadang, saat kita mengejar seseorang yang kita cintai dengan usaha sepenuh hati, disisi lain kita gagal mengenal dan menghargai seseorang yang diam-diam mencintai kita. Kadang kala, orang yang kita cintai adalah orang yang sering menyakiti hati, sedangkan orang yang menangis kala melihat-mendengar kita terluka/ditimpa bencana adalah cinta yang tidak kita sadari. Kita melewatkan begitu banyak hal-hal indah karena kita membiarkan diri kita diperbudak oleh kepentingan yang egois. Saya pribadi, lebih baik memilih orang yang mencintai saya, daripada saya ngotot mengejar cinta(yang tak pasti) orang yang saya cintai. Saya harap, sobat juga begitu. Cinta itu juga butuh proses, dengan memilih orang yang mencintai kita, lambat laun kita akan mencintainya juga, karena setiap hari kita hanya melihat cahaya Ilahi yang terpancar dalam setiap tingkah dan perilakunya. Senyumnya mampu menyejukkan hati kita, disaat kita membuka pintu rumah dengan lelah setelah seharian menjemput rizeki-Nya. Pakaiannya yang menutup aurat, mampu menentramkan hati kita dikala kita berjalan keluar rumah bersamanya. Semangat juangnya dalam berdakwah, mampu membuat hati kita berdesir bangga, karena dia lah imam yang akan menuntun kita menuju surga-Nya. Pelukannya yang hangat, setelah seharian bergelut di dunia dakwah, membuat kita terasa aman dan senang. Subhanallah… jikalau kita telah merasakan getar-getar cinta itu, menangis syukurlah di Sajadah Kalbu, dan pastikan tetesan air mata yang jatuh menyiram bibit-bibit cinta agar cepat tumbuh dan berbuah. Allahu Akbar wa Lillahilham…

Nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustai?
Dengan setetes embun cinta yang kau berikan,
DIA anugerahkan lautan cinta.

Nikmat Tuhanmu manakah yang engkau ingkari?
Dengan setetes air mata cinta yang kau keluarkan,
DIA titiskan jiwa bidadari surga di dunia.

Nikmat Tuhanmu manakah yang engkau bohongi?
Dengan setetes keringat cinta yang kau usahakan,
DIA tumbuhkan pohon cinta yang berbuah bahagia.
'Cinta adalah Tujuan' bukanlah Tujuan Cinta

Kenapa Allah menciptakan kita berbeda-beda,
kalau Allah cuma ingin disembah dengan cara yang sama?
Makanya Allah menciptakan cinta, agar yang beda-beda menyatu.

Itulah kira-kira kutipan kata-kata yang saya dapat dari sebuah film yang berjudul "cin(T)a", sebuah film yang menceritakan perjalanan cinta pemuda-pemudi yang beda agama (bahkan diselingi dengan cuplikan 'nyata' sebuah keluarga lintas agama). Secara kasat mata kata-kata itu terasa sangat bagus bin indah, tapi bagi kita yang sadar, kata-kata itu tidak lebih indah dari sampah. Menurut saya, film itu mempromosikan betapa bahagianya nikah lintas agama. Padahal Allah swt dengan tegas memperingatkan kita,
"...Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran..."
(QS. al-Baqarah : 221)
Astagfirullahal 'adziim... Setelah nonton film itu, memori saya mendarat di pulau kenangan semasa SMA, dua tahun silam. Waktu itu ada teman sekelas saya yang menjalin 'cinta terlarang' dengan teman sekelas (juga) yang berbeda agama, yang perempuan beragama Islam dan yang laki-laki beragama kristen. Suatu ketika teman saya (yang Islam) curhat kepada saya tentang hubungannya yang sedang bermasalah, kira-kira dia berkata,

"Aku dah kadung cinta ama dia, padahal aku tahu klo dia gak seiman denganku. Kenapa bisa begini? Apa yang harus ku perbuat?"

"Cinta bukan Tuhan", itulah jawaban sekilas yang saya berikan padanya. Saya tegaskan tidak semua kehendak cinta mesti kita patuhi. Bila kehendak cinta melanggar norma-norma agama, kehendaknya mesti dihentikan. Saya ingatkan kepadanya, pertimbangkanlah bagaimana aturan Allah yang akan dilanggar jika hubungan terlarang itu diteruskan hingga jenjang pernikahan? Pacaran atau bahkan nikah beda agama adalah haram. Ya, cinta memang buta, tetapi orang yang bercinta (lebih-lebih lagi orang beriman) jangan pula sampai buta mata hati untuk mengawal dan mengendalikan rasa cinta. Demi cinta sanggup berdosa? Demi cinta berani menempuh jalan neraka? Sekali lagi, Pikir dan zikirkanlah (ingatkanlah)!

Ironisnya, begitulah realita masa kini. Cinta dimartabatkan terlalu agung dan disanjung membumbung. Demi cinta segala-galanya berani diterjang. Tidak percaya? Bacalah berita-berita yang dipaparkan di surat kabar atau majalah. Dikesankan bahwa kalau di zaman sekarang tidak pacaran, tidak gaul alias primitif; rela bunuh diri saat cintanya tidak direstui Orang Tua. Dan dikabarkan pula seorang muslim menikahi wanita kafir atau sebaliknya, tapi keluarganya hidup bahagia. Bila ditanya kenapa? Kebanyakan menjawab, “apa boleh buat, kami sudah saling jatuh cinta!”

Inilah efek samping dan bahayanya menonton film cinta versi Bollywood dan Hollywood (termasuk film 'cin(T)a' itu sendiri). Inilah dampak lagu-lagu cinta yang menyumbat telinga dan menyempitkan jiwa. Secara nirsadar film-film dan lagu-lagu itu telah menahan “akal bawah sadar” sebagian dari kita yang lemah ke-Islamannya, bukan saja remaja, bahkan “orang tua” pun sanggup menobatkan cinta sebagai Tuhan dalam kehidupan. Lihat saja bagaimana virus dalam film-film dan lagu-lagu tersebut sanggup mengebiri apapun jua halangan dan rintangan demi penyatuan cinta mereka. Pengorbanan demi cinta disanjung dan dipuja walaupun jelas melanggar tata susila dalam Islam. Apa saja plot dan klimaks cerita, cinta akan/harus dimenangkan. Seolah-olah tujuan hidup manusia hanya semata-mata untuk cinta!

Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, mari kita renungkan sejenak. Coba tanyakan siapakah yang mengaruniakan rasa cinta di dalam hati setiap manusia? Tentu saja jawabannya ialah Allah. Allah swt mencipta manusia, akal, hati dan perasaannya. Cinta itu fitrah yang dikaruniakan Allah pada setiap hati. Lalu kita tanyakan lagi untuk apakah Allah berikan naluri cinta ini? Untuk mengetahui apa tujuan cinta, kita perlu kembali kepada persoalan pokok untuk apa manusia diciptakan? Karena semua yang dikaruniakan Allah kepada manusia adalah untuk memudahkan manusia menjalankan tujuan ia diciptakan oleh Allah. Apakah tujuan Allah menciptakan manusia? Tidak lain, hanya untuk menjadi hamba Allah dan khalifah di muka bumi ini.

Sobat, cinta itu bukan tujuan tetapi cinta itu hanyalah jalan. Cinta itu bukan alamat, tapi cinta itu cuma alat. Rasa ingin mencintai dan dicintai dalam diri setiap manusia pada hakikatnya adalah untuk membolehkan manusia melaksanakan tujuan ia diciptakan. Cinta itu mengikat hati antara lelaki dengan wanita untuk sama-sama membentuk ikatan pernikahan demi menyempurnakan separuh agama. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang menikah maka sempurnalah separuh agamanya, tinggal separuh lagi untuk dilaksanakan.”

Cinta memang penting, tetapi ibadah dan menegakkan hukum Allah jauh lebih penting. Sayangnya, hakikat ini sangat jarang dipahami dan dihayati oleh orang yang mabuk cinta. Tujuan cinta sering dipinggirkan. Ibadah dan hukum Allah yang tinggi dan suci telah dipinggirkan hanya karena cinta. Oleh karenanya, letakkanlah cinta sebagai alat untuk beribadah kepada Allah. Wujudkanlah rumah tangga bahagia yang menjadi wadah tegaknya kalimah Allah, dan menjadi madrasah yang melahirkan calon Mujahid dan Mujahidah. Allahu Akbar...
Waspadalah: antara Cemburu & Iri

Saya yakin semua Insan pernah merasakannya, cemburu dan atau iri. Tapi sayang, yang terjadi dalam banyak anggapan adalah ketidakpedulian kita untuk bisa memahami perbedaan antara cemburu dan iri. Apabila kita tengah meluapkan sifat iri, kebanyakan di antara kita menganggap bahwa luapan emosi itu bernama cemburu. Inilah bentuk kesalahpahaman yang perlu kita luruskan.

Cemburu, betapa emosi ini menjadi salah satu emosi yang paling sering dikambinghitamkan. Ia lebih banyak dianggap sebagai emosi yang buruk daripada yang baik, yang merusak daripada yang membangun, dan yang berbahaya daripada yang menyelamatkan. Padahal, jikalau kita mau membuka-buka tsaqafah islamiyah tentang emosi yang satu ini, akan kita dapati bahwa cemburu itu merupakan emosi yang baik alih-alih yang buruk, yang membangun alih-alih yang merusak, dan yang menyelamatkan alih-alih yang berbahaya (coba tengok lagi sirah nabawi, khususnya kisah tentang rasa cemburu yang dimiliki oleh para Ummul Mukminin). Lawan dari cemburu adalah iri, cemburu dan iri memiliki letupan yang hampir sama, kalau tidak hati-hati sulit dibedakan, tapi keduanya mempunyai sumber khusus masing-masing. Namun satu hal yang pasti, tidak ada satu pun ayat al-Qur'an yang menyebut tentang cemburu, apalagi menjustifikasinya sebagai emosi yang buruk. Sebaliknya, terdapat beberapa ayat yang menyebut tentang emosi yang bernama iri, sekaligus menjustifikasi bahwa iri buruk sifatnya, bahkan kita diwajibkan untuk menghilangkan penyakit hati jenis ini.

Sahabat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, inilah perbedaannya...
Iri merupakan perasaan sosial yang timbul karena keberadaan orang lain, sedangkan cemburu adalah perasaan sosial yang muncul karena kehadiran orang lain. Maksudnya, ketika kita memiliki keinginan tertentu, sedangkan orang lain ternyata telah memiliki apa yang kita inginkan tersebut, lalu muncul perasaan tidak senang dan tidak suka melihat hal itu, maka perasaan ini bukan cemburu melainkan iri. Sebaliknya, ketika apa yang kita miliki itu ternyata ada bersama orang lain, dan oleh karenanya muncul perasaan tidak suka dan tidak senang, maka perasaan ini bukan iri melainkan cemburu.

Misal, apabila pasangan hidup kita tengah berinteraksi dengan lawan jenis lain atau melihat suami lagi bersama istrinya yang lain, dan pada diri kita muncul perasaan tidak senang dan tidak suka, maka perasaan inilah yang disebut cemburu, bukan iri. Namun, apabila kita hidup bersama pasangan hidup kita, dan melihat pasangan hidup yang lain, lalu muncul perasaan tidak suka dan tidak senang, maka perasaan inilah yang disebut iri, bukan cemburu.

Dengan demikian, jikalau kita pernah merasa cemburu dan punya kesulitan bagaimana cara menghilangkannya, maka hati-hati, jangan-jangan itu bukan cemburu tetapi iri. Seharusnya perasaan iri lah yang harus kita buang jauh-jauh dan dijauhi, bukan cemburu. Perasaan cemburu sesungguhnya mengandung kualitas untuk menjaga atau mempertahankan kehormatan dan harga diri, sedangkan perasaan iri muncul dari ambisi ingin memonopoli dan menang sendiri.
Cinta saja belum cukup
Cinta...
Nama lain dari keteguhan hati,
Tuk selalu saling mempercayai.
Demi sebuah pelayaran yang diretas,
Menuju pulau kebahagiaan tanpa batas.

Jikalau teringat saat cinta kita telah diterima oleh si Dia. Ah, betapa gembiranya momen itu. Dunia ini seakan milik berdua, yang lainnya nge-kos. Bulan, mentari dan bintang seakan turut tersenyum bahagia kepada kita. Musim bulan madu berlalu. Biduk rumah tangga yang kita bina bersamanya mulai diterjang ombak prahara. Pelbagai suka duka, pahit manis diarungi bersama. Kata orang, semakin tinggi pokok yang kita panjat, semakin kuat pula angin yang menggoyang. Maksudnya, semakin tinggi puncak kehidupan ini kita daki, maka semakin banyak dan hebat ujian yang menggugah hati.

Cinta saja tidak akan mampu mempertahankan keharmonian rumah tangga. Pernikahan memang dimulakan oleh cinta, tetapi cinta disempurnakan oleh tanggung jawab. Cinta itu satu rasa yang bertunjangkan perasaan. Perasaan tanpa kekuatan jiwa dan kematangan berfikir akan goyah apabila mendapat ujian. “Perasaan” adalah hamba yang baik, tetapi tuan yang sangat buruk. Oleh karenanya, jikalau ingin selamat, pastikan perasaan “bekerja” untuk kita, bukan sebaliknya.

Akan tiba masanya, sesuatu yang kita lihat indah dahulu akan tidak indah lagi. Jikalau kita hanya bergantung kepada perasaan, cinta kita akan terinfeksi. Pada saat itu cinta memerlukan tanggung jawab, dan tanggung jawab menuntut suatu kepercayaan. Ketika cinta mulai goyah di di atas ombak kehidupan, tanggung jawab akan datang sebagai sekoci dengan peranan yang lebih berkesan.

Cinta memang hebat, tetapi ia tidak dapat menandingi tanggung jawab. Cinta yang hebat ialah cinta yang ditunjangi tangung jawab. Cinta itu untuk memberi bukan untuk menerima. Lafadz, “aku terima nikah...” oleh kita yang ikhwan, lalu bukan berarti kita layak menerima tetapi sebaliknya untuk memberi. Kita memikul tanggung jawab untuk memberi nafkah lahir-batin, kasih sayang, perhatian, pembelaan, didikan dan segalanya...

Pun begitu bagi kita yang akhwat, penerimaan kita sebagai pasangan hidup sang Ikhwan bukan berarti untuk kita menerima tetapi untuk memberi –memberi kesetiaan, kepatuhan, pembelaan dan seluruh jiwa raga kita untuknya. Kita telah membuat suatu janji yang paling suci dan tinggi dalam hidup kita, bukan untuk sesaat tetapi untuk selama-lamanya. Bukan hanya ketika rambutnya hitam tersisir rapi, tetapi hingga rambutnya putih dan mungkin tidak tumbuh-tumbuh lagi!

Itu baru ujian fisik. Belum lagi ujian batin yang berbentuk cemburu, jemu, marah, curiga dan lain-lain “virus” yang sejenis.
“Aku mencintainya, tetapi aku curiga apakah dia setia padaku?”
“Tergodakah dia bila di belakangku?”
Itulah contoh dialog hati yang merasuk bila ada cinta tetapi kurang ada percaya. Fobia dan trauma ini sering melanda bahtera rumah tangga. Ia akan menyebabkan hilangnya kebahagiaan, dan akhirnya berakhir pada perceraian.

Dan itulah sebagian besar fenomena masa kini, pasangan suami istri jarang sekali yang saling percaya atau hanya salah satu pihak yang percaya. Bukan karena tidak ada cinta, tetapi karena 'percaya' telah direduksi oleh 'curiga', 'rindu' telah berganti 'cemburu', hari-hari yang 'indah' berlalu menjadi hari-hari yang 'gelisah'. Fakta terkini menunjukkan, penceraian banyak terjadi bukan saja pada pasangan yang sudah kehilangan cinta, tetapi pada pasangan yang terlalu cinta.

Tidak adanya sifat percaya pada seseorang disebabkan dua faktor. Pertama, kita belum benar-benar mengenalinya. Kedua, karena kita telah benar-benar mengenalinya. Jikalau disebabkan faktor yang pertama, jalan terbaik ialah kenalilah pasangan kita dengan lebih mendalam. Berkenalan kali pertama dahulu (awal-awal pernikahan) adalah untuk menumbuhkan bibit-bibit cinta. Tetapi perkenalan kali kedua, ketiga dan seterusnya (yakni setelah usia pernikahan meningkat) adalah untuk menyuburkan bibit-bibit percaya. Adalah salah jikalau kita beranggapan yang kita telah kenal belahan jiwa kita dan terus menghentikan proses perkenalan. Sedangkan proses perkenalan dalam rumah tangga adalah “on going (berterusan) sifatnya.

Kita harus terus saling percaya walau apa pun yang terjadi, karena kita sadar bahwa kita nikah dengan manusia bukan dengan malaikat. Kita mengingatkan bila dia terlupa dan membantunya sewaktu dia ingat. Kepercayaan itu akan melahirkan tanggung jawab, dan tanggung jawab adalah oksigen cinta. Oksigen itulah yang akan memberi stamina kepada cinta untuk terus abadi dari dunia hingga ke syurga.

Jika antum wa antumna bertanya bagaimana memupuk kepercayaan? Jawabnya, kembalilah kepada pondasi kepercayaan. Apa lagi jikalau bukan Rukun Iman? Binalah semua jenis percaya di atas enam kepercayaan itu. Jikalau kita percaya kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kehendak-Nya, maka kita akan saling mempercayai antara satu sama lain. Percayalah kepercayaan kepada Allah itu adalah pangkal yang mengikat kepercayaan sesama manusia. Pangkal yang mempertautkan segala kebaikan. Ya, kepercayaan kita kepada Allah akan menyebabkan pasangan kita mempercayai kita.

“Ah, suamiku jauh. Tetapi aku percaya padanya. Dia adalah mukmin yang teguh pada nilai-nilai agama.”
“Aduh lamanya kita berpisah. Namun istriku, iman akan menjaga mu…”

Bila hancur sebuah cinta bererti hancurlah satu kepercayaan. Bila hancur kepercayaan berarti hancurlah iman. Sobat Mutiara Hati yang dimuiakan Allah, sekali lagi kutegaskan inilah oksigen cinta. Dan bagi kita yang masih belum mengenal cinta (antara lelaki dengan wanita), burulah sesuatu yang lebih utama daripada "dicintai" yaitu "dipercayai"! Bukankah nabi Muhammad saw itu lebih dahulu mendapat gelar ”Al Amin” (dipercayai) sebelum dicintai kaumnya, dan sebelum menemui srikandi cintanya Sayyidah Khadijah ra?
  • Berlangganan

    Sahabat yang ingin mutiara-mutiara ini langsung terkirim ke Email Sahabat, silahkan masukkan Email disini:

    Kacamata Dunia

    free counters