Sahabat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, mutiara kali ini adalah follow up dari mutiara yang sebelumnya, masih ingat 'kan! Bagi sobat yang belum tahu atau yang sudah tahu tapi sudah lupa, silahkan berenang dan menyelam disini. Di mutiara sebelumnya, ada pertanyaan hati, "Lalu, bagaimana dalam konteks kesedihan dan kesengsaraan agar hati bisa benar-benar ikhlas?"
Sobat, pertama-tama yang harus dilakukan oleh hati adalah menerima dengan sabar akan kesedihan dan kesengsaraan tersebut, bahwa Allah swt telah menetapkan kejadian atau peristiwa yang membuat kita sedih atau sengsara; bahwa Allah swt tengah menguji kita dengan kesedihan dan kesengsaraan tersebut; dan bahwa Allah swt sedang menunjukkan kecintaan dan kasih-Nya pada kita, dalam bentuk kita tengah merasakan kesedihan dan kesengsaraan.
Kemudian, relakan semua peristiwa yang telah dan sedang menimpa kita. Relakan serela-relanya. Jangan pernah mendengarkan bisikan nafsu kita yang terus-menerus berteriak untuk meminta keadilan. Dalam keadaan sedih dan sengsara, nafsu selalu berteriak-teriak: Kenapa aku mengalami peristiwa ini? Mengapa semuanya menimpaku? Apa salahku hingga aku harus menderita begini? dan sebagainya.
Sobat, nafsu meronta-ronta seperti itu. Nafsu merasa sudah diperlakukan tidak adil dan menuntut keadilan. Nafsu membungkus hati dan akal agar keduanya memberontak: memberontak kepada diri sendiri, memberontak kepada orang lain, memberontak kepada orang tua, memberontak kepada belahan jiwa, memberontak kepada belahan hati, dan bahkan memberontak kepada Allah.
Pikiran yang kacau-balau dipenuhi oleh kekhawatiran, dan hati yang gundah-gulana diliputi kegelisahan. Ujung-ujungnya, Allah lah yang menjadi kambing hitam. Lalu Allah swt dihujat, dicaci maki, dan diteriaki. Keadilan Allah dipertanyakan, dan ke-Maha-an-Nya diragukan. Akhirnya, nafsu pun semakin keras meronta-ronta dan memvonis, "Allah telah berlaku tidak adil kepadaku".
Keadaan yang buruk pun tidak disadari, dan semakin buruklah keadaannya. Nafsu memalingkan jiwa untuk menerima kenyataan seperti itu, lalu menyeru diri agar menolak segala sesuatu yang dirasa seharusnya tidak diperuntukkan bagi kita. Kita menjadi orang yang jengah terhadap keadaan, benci dengan orang lain yang mendapatkan anugerah kesenangan, dan dengki dengan orang lain yang mendapatkan anugerah kebahagiaan.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah swt, betapa berat meraih ilmu ikhlas ketika keadaan kita tengah diuji dengan ujian berupa penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan. Tetapi percayalah kepada saya, apabila keadaan kita sekarang ini seperti itu, dan kita merespons dengan cara yang buruk, maka kita justru akan semakin jatuh terpuruk, hancur berantakan, dan hina-dina.
Sungguh, setiap kebaikan dan kebenaran itu datang dari Allah swt, sedangkan keburukan dan kemaksiatan itu merupakan produk dari perbuatan kita sendiri. Jika keburukan dan kemaksiatan yang menimpa kita itu disebabkan oleh Allah swt, maka justru hal itu bertentangan dengan keadilan-Nya sendiri. Mustahil Allah swt menakdirkan kita sebagai seseorang yang bergelimang dengan dosa dan maksiat, sebab jika hal itu demikian, maka adalah dzalim apabila Allah swt memasukkan kita ke dalam neraka-Nya. Kenapa? Karena, Dia lah yang membuat kita menjadi orang yang buruk, tapi Dia juga pula lah yang menghukum kita. Hidup adalah pilihan, begitu kata seorang Ustadz. Pilihan atas takdir-takdir Allah, takdir baik ataukah takdir buruk?
Oleh karenanya, untuk mendapatkan hati yang ikhlas dalam keadaan di mana kita tengah menghadapi penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan, adalah kita harus bermusahabah terlebih dahulu, bahwa penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan itu bisa jadi kita sendiri yang membuatnya. Kita harus bertaubat dengan taubat an-nasuha dari segala dosa yang kita perbuat, lalu memasrahkan diri sepasrah-pasrahnya kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Sobat, kita harus yakin kepada Allah bahwa Allah swt tidak mungkin tidak pernah berbuat tidak adil kepada hamba-Nya. Permasalahan bukan terletak pada adil- tidaknya Allah, tetapi permasalahan terletak pada diri kita sendiri yang kadang tidak adil untuk memahami keadilan-Nya. Lalu bersihkan diri kita dari beragam bisikan nafsu dengan menambah intensitas kita dalam bertaqarrub kepada Allah swt, sebab dalam keadaan hidup yang menderita dan sengsara, teriakan nafsu sangatlah kencang agar kita tidak menerima keadaan kita. Maka, jangan layani dia, jangan turuti dia, dan jangan pernah dengarkan dia. Yakinlah,
Sobat, pertama-tama yang harus dilakukan oleh hati adalah menerima dengan sabar akan kesedihan dan kesengsaraan tersebut, bahwa Allah swt telah menetapkan kejadian atau peristiwa yang membuat kita sedih atau sengsara; bahwa Allah swt tengah menguji kita dengan kesedihan dan kesengsaraan tersebut; dan bahwa Allah swt sedang menunjukkan kecintaan dan kasih-Nya pada kita, dalam bentuk kita tengah merasakan kesedihan dan kesengsaraan.
...Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar...
(QS. al-Baqarah :155)
Kemudian, relakan semua peristiwa yang telah dan sedang menimpa kita. Relakan serela-relanya. Jangan pernah mendengarkan bisikan nafsu kita yang terus-menerus berteriak untuk meminta keadilan. Dalam keadaan sedih dan sengsara, nafsu selalu berteriak-teriak: Kenapa aku mengalami peristiwa ini? Mengapa semuanya menimpaku? Apa salahku hingga aku harus menderita begini? dan sebagainya.
Sobat, nafsu meronta-ronta seperti itu. Nafsu merasa sudah diperlakukan tidak adil dan menuntut keadilan. Nafsu membungkus hati dan akal agar keduanya memberontak: memberontak kepada diri sendiri, memberontak kepada orang lain, memberontak kepada orang tua, memberontak kepada belahan jiwa, memberontak kepada belahan hati, dan bahkan memberontak kepada Allah.
Pikiran yang kacau-balau dipenuhi oleh kekhawatiran, dan hati yang gundah-gulana diliputi kegelisahan. Ujung-ujungnya, Allah lah yang menjadi kambing hitam. Lalu Allah swt dihujat, dicaci maki, dan diteriaki. Keadilan Allah dipertanyakan, dan ke-Maha-an-Nya diragukan. Akhirnya, nafsu pun semakin keras meronta-ronta dan memvonis, "Allah telah berlaku tidak adil kepadaku".
Keadaan yang buruk pun tidak disadari, dan semakin buruklah keadaannya. Nafsu memalingkan jiwa untuk menerima kenyataan seperti itu, lalu menyeru diri agar menolak segala sesuatu yang dirasa seharusnya tidak diperuntukkan bagi kita. Kita menjadi orang yang jengah terhadap keadaan, benci dengan orang lain yang mendapatkan anugerah kesenangan, dan dengki dengan orang lain yang mendapatkan anugerah kebahagiaan.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah swt, betapa berat meraih ilmu ikhlas ketika keadaan kita tengah diuji dengan ujian berupa penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan. Tetapi percayalah kepada saya, apabila keadaan kita sekarang ini seperti itu, dan kita merespons dengan cara yang buruk, maka kita justru akan semakin jatuh terpuruk, hancur berantakan, dan hina-dina.
Sungguh, setiap kebaikan dan kebenaran itu datang dari Allah swt, sedangkan keburukan dan kemaksiatan itu merupakan produk dari perbuatan kita sendiri. Jika keburukan dan kemaksiatan yang menimpa kita itu disebabkan oleh Allah swt, maka justru hal itu bertentangan dengan keadilan-Nya sendiri. Mustahil Allah swt menakdirkan kita sebagai seseorang yang bergelimang dengan dosa dan maksiat, sebab jika hal itu demikian, maka adalah dzalim apabila Allah swt memasukkan kita ke dalam neraka-Nya. Kenapa? Karena, Dia lah yang membuat kita menjadi orang yang buruk, tapi Dia juga pula lah yang menghukum kita. Hidup adalah pilihan, begitu kata seorang Ustadz. Pilihan atas takdir-takdir Allah, takdir baik ataukah takdir buruk?
Oleh karenanya, untuk mendapatkan hati yang ikhlas dalam keadaan di mana kita tengah menghadapi penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan, adalah kita harus bermusahabah terlebih dahulu, bahwa penderitaan, kesedihan, dan kesengsaraan itu bisa jadi kita sendiri yang membuatnya. Kita harus bertaubat dengan taubat an-nasuha dari segala dosa yang kita perbuat, lalu memasrahkan diri sepasrah-pasrahnya kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Sobat, kita harus yakin kepada Allah bahwa Allah swt tidak mungkin tidak pernah berbuat tidak adil kepada hamba-Nya. Permasalahan bukan terletak pada adil- tidaknya Allah, tetapi permasalahan terletak pada diri kita sendiri yang kadang tidak adil untuk memahami keadilan-Nya. Lalu bersihkan diri kita dari beragam bisikan nafsu dengan menambah intensitas kita dalam bertaqarrub kepada Allah swt, sebab dalam keadaan hidup yang menderita dan sengsara, teriakan nafsu sangatlah kencang agar kita tidak menerima keadaan kita. Maka, jangan layani dia, jangan turuti dia, dan jangan pernah dengarkan dia. Yakinlah,
...Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan...
(QS. al-Insyiraah :5-6)
"Sudah... Ikhlaskan saja" kata sebagian dari kita.
Betapa ringannya kata-kata ini diucapkan, dan betapa mudahnya kita menyarankannya pada orang lain. Sobat Mutiara Hati, sungguh betapa sulitnya kita untuk mencapai hati ke derajat yang benar-benar ikhlas. Masih ingatkah sobat dengan sinetron Kiamat Sudah Dekat! Di sinetron itu dikisahkan seorang pemuda yang berjuang setengah hidup mencari Ilmu Ikhlas, agar bisa mempersunting sesosok wanita shalihah. Nah, saya rasa sobat juga masih bingung mencari dan mendapatkan Ilmu Ikhlas. Bukan berarti saya telah menjadi Insan yang bener-bener Ikhlas, namun di artikel ini saya berbagi tips dan trik bagaimana mencari dan mendapat Ilmu Ikhlas.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, suatu riwayat mengisahkan bahwa pada suatu ketika, Imam Hasan ra dan Imam Husain ra -di waktu masih kecil- menderita sakit. Rasulullah saw dan sejumlah sahabat ra menjenguk mereka. Rasullah saw pun menyarankan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra bernadzar untuk kesembuhan kedua putranya itu. Ali ra dan az-Zahra pun bernadzar, sekiranya Hasan ra dan Husain ra sembuh, maka mereka akan berpuasa selama tiga hari. Dan dengan kehendak Allah swt, penyakit keduanya sembuh. Demi memenuhi nadzar, Ali karamallahu wajhu dan Fatimah az-Zahra pun berpuasa.
Ketika Ali ra dan Fatimah ra dalam keadaan lapar karena berpuasa, mereka memasak roti untuk dimakan ketika berbuka nanti. Ketika terdengar panggilan adzan yang mengisyaratkan shalat maghrib dan telah tiba saatnya untuk berbuka puasa, tiba-tiba seorang lelaki buta datang ke rumah mereka. Melihat kondisi orang tersebut, Ali ra dan Fatimah ra lantas memberikan roti yang sudah dipersiapkannya untuk berbuka kepadanya orang tersebut, sementara mereka sendiri berbuka dengan segelas air minum.
Kejadian tersebut berulang pada hari kedua dan ketiga. Keluarga Ali ra dan az-Zahra yang telah tiga hari puasa dan tidak berbuka kecuali dengan segelas air, lantas menemui Rasulullah saw dengan wajah pucat pasi. Saat itu turunlah ayat al-Qur'an,
Demikianlah salah satu contoh keikhlasan yang telah diperlihatkan oleh keluarga Ali ra, dalam keadaan dimana imam Ali ra dan Fatimah ra membutuhkan sesuatu, justru sesuatu itu diberikan kepada orang lain.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, ujian ikhlas itu terletak pada dua konteks:
1. Kesenangan dan Kebahagiaan
2. Kesedihan dan Kesengsaran
Bagi kita yang tidak memiliki disiplin hati, dalam kedua konteks tersebut, ikhlas sama-sama sulit untuk dicapai. Ketika kita diberi rizeki oleh Allah swt, kita mungkin saja telah mensyukurinya. Tetapi, syukur kita itu juga bisa jadi tidak diiringi dengan keikhlasan. Keikhlasan untuk apa? dan dalam hal apa? Yakni keikhlasan untuk membagi-bagikan berkah rizeki tersebut kepada orang lain. Kita terkadang masih harus banyak berpikir terlebih dahulu sebelum membagi-bagikan rizeki tersebut:
# Nanti sajalah aku bersedekah dengan rezeki yang kupunya.
# Kebutuhanku masih banyak, dan rizeki ini masih sangat aku butuhkan.
# Jikalau Allah memberikan rizeki lagi, aku akan membagi-bagikannya dengan orang yang membutuhkan. Dan seterusnya...
Berpikir sebelum memberikan itu sendiri menunjukkan ketidak-ikhlasan. Dan jika kita tetap membagi rizeki kita setelah melalui proses pemikiran dan pertimbangan yang seperti itu(sejenisnya), nilai keikhlasan telah ternoda. Dengan kata lain, kita belum mencapai derajat hati yang ikhlas. Apalagi ketika kita memberikannya di hadapan orang lain atau orang banyak dengan harapan agar orang tersebut melihat betapa dermawannya diri kita, maka keikhlasan sama sekali tidak ada di dalam perbuatan memberi yang kita lakukan.
Dalam konteks kesenangan dan kebahagiaan, agar hati menjadi ikhlas adalah kita tidak usah berpikir apa pun ketika kita memberikan atau membagikan sesuatu kepada orang lain. Beri dan bagikan sesuatu semata-mata karena Allah swt, lain tidak! Tidak usah dipertimbangkan, tidak usah direnungkan, dan tidak usah dipikirkan untung ruginya, serta jangan pernah peduli dengan omongan orang, entah itu memuji atau menghujat. Berikan dengan hati yang dipenuhi cinta dan kasih sayang kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan lakukan sekarang juga! Kalau tidak sekarang, kapan lagi!
Lalu, bagaimana dalam konteks kesedihan dan kesengsaran agar hati bisa benar-benar ikhas? Sabar, wahai sobat Mutiara Hati. Tunggu edisi berikutnya, okay.
Betapa ringannya kata-kata ini diucapkan, dan betapa mudahnya kita menyarankannya pada orang lain. Sobat Mutiara Hati, sungguh betapa sulitnya kita untuk mencapai hati ke derajat yang benar-benar ikhlas. Masih ingatkah sobat dengan sinetron Kiamat Sudah Dekat! Di sinetron itu dikisahkan seorang pemuda yang berjuang setengah hidup mencari Ilmu Ikhlas, agar bisa mempersunting sesosok wanita shalihah. Nah, saya rasa sobat juga masih bingung mencari dan mendapatkan Ilmu Ikhlas. Bukan berarti saya telah menjadi Insan yang bener-bener Ikhlas, namun di artikel ini saya berbagi tips dan trik bagaimana mencari dan mendapat Ilmu Ikhlas.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, suatu riwayat mengisahkan bahwa pada suatu ketika, Imam Hasan ra dan Imam Husain ra -di waktu masih kecil- menderita sakit. Rasulullah saw dan sejumlah sahabat ra menjenguk mereka. Rasullah saw pun menyarankan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra dan Sayyidah Fatimah az-Zahra bernadzar untuk kesembuhan kedua putranya itu. Ali ra dan az-Zahra pun bernadzar, sekiranya Hasan ra dan Husain ra sembuh, maka mereka akan berpuasa selama tiga hari. Dan dengan kehendak Allah swt, penyakit keduanya sembuh. Demi memenuhi nadzar, Ali karamallahu wajhu dan Fatimah az-Zahra pun berpuasa.
Ketika Ali ra dan Fatimah ra dalam keadaan lapar karena berpuasa, mereka memasak roti untuk dimakan ketika berbuka nanti. Ketika terdengar panggilan adzan yang mengisyaratkan shalat maghrib dan telah tiba saatnya untuk berbuka puasa, tiba-tiba seorang lelaki buta datang ke rumah mereka. Melihat kondisi orang tersebut, Ali ra dan Fatimah ra lantas memberikan roti yang sudah dipersiapkannya untuk berbuka kepadanya orang tersebut, sementara mereka sendiri berbuka dengan segelas air minum.
Kejadian tersebut berulang pada hari kedua dan ketiga. Keluarga Ali ra dan az-Zahra yang telah tiga hari puasa dan tidak berbuka kecuali dengan segelas air, lantas menemui Rasulullah saw dengan wajah pucat pasi. Saat itu turunlah ayat al-Qur'an,
...Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih...
[QS al-Insaan : 09]
Demikianlah salah satu contoh keikhlasan yang telah diperlihatkan oleh keluarga Ali ra, dalam keadaan dimana imam Ali ra dan Fatimah ra membutuhkan sesuatu, justru sesuatu itu diberikan kepada orang lain.
Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, ujian ikhlas itu terletak pada dua konteks:
1. Kesenangan dan Kebahagiaan
2. Kesedihan dan Kesengsaran
Bagi kita yang tidak memiliki disiplin hati, dalam kedua konteks tersebut, ikhlas sama-sama sulit untuk dicapai. Ketika kita diberi rizeki oleh Allah swt, kita mungkin saja telah mensyukurinya. Tetapi, syukur kita itu juga bisa jadi tidak diiringi dengan keikhlasan. Keikhlasan untuk apa? dan dalam hal apa? Yakni keikhlasan untuk membagi-bagikan berkah rizeki tersebut kepada orang lain. Kita terkadang masih harus banyak berpikir terlebih dahulu sebelum membagi-bagikan rizeki tersebut:
# Nanti sajalah aku bersedekah dengan rezeki yang kupunya.
# Kebutuhanku masih banyak, dan rizeki ini masih sangat aku butuhkan.
# Jikalau Allah memberikan rizeki lagi, aku akan membagi-bagikannya dengan orang yang membutuhkan. Dan seterusnya...
Berpikir sebelum memberikan itu sendiri menunjukkan ketidak-ikhlasan. Dan jika kita tetap membagi rizeki kita setelah melalui proses pemikiran dan pertimbangan yang seperti itu(sejenisnya), nilai keikhlasan telah ternoda. Dengan kata lain, kita belum mencapai derajat hati yang ikhlas. Apalagi ketika kita memberikannya di hadapan orang lain atau orang banyak dengan harapan agar orang tersebut melihat betapa dermawannya diri kita, maka keikhlasan sama sekali tidak ada di dalam perbuatan memberi yang kita lakukan.
Dalam konteks kesenangan dan kebahagiaan, agar hati menjadi ikhlas adalah kita tidak usah berpikir apa pun ketika kita memberikan atau membagikan sesuatu kepada orang lain. Beri dan bagikan sesuatu semata-mata karena Allah swt, lain tidak! Tidak usah dipertimbangkan, tidak usah direnungkan, dan tidak usah dipikirkan untung ruginya, serta jangan pernah peduli dengan omongan orang, entah itu memuji atau menghujat. Berikan dengan hati yang dipenuhi cinta dan kasih sayang kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan lakukan sekarang juga! Kalau tidak sekarang, kapan lagi!
Lalu, bagaimana dalam konteks kesedihan dan kesengsaran agar hati bisa benar-benar ikhas? Sabar, wahai sobat Mutiara Hati. Tunggu edisi berikutnya, okay.