Cinta saja belum cukup
Cinta...
Nama lain dari keteguhan hati,
Tuk selalu saling mempercayai.
Demi sebuah pelayaran yang diretas,
Menuju pulau kebahagiaan tanpa batas.

Jikalau teringat saat cinta kita telah diterima oleh si Dia. Ah, betapa gembiranya momen itu. Dunia ini seakan milik berdua, yang lainnya nge-kos. Bulan, mentari dan bintang seakan turut tersenyum bahagia kepada kita. Musim bulan madu berlalu. Biduk rumah tangga yang kita bina bersamanya mulai diterjang ombak prahara. Pelbagai suka duka, pahit manis diarungi bersama. Kata orang, semakin tinggi pokok yang kita panjat, semakin kuat pula angin yang menggoyang. Maksudnya, semakin tinggi puncak kehidupan ini kita daki, maka semakin banyak dan hebat ujian yang menggugah hati.

Cinta saja tidak akan mampu mempertahankan keharmonian rumah tangga. Pernikahan memang dimulakan oleh cinta, tetapi cinta disempurnakan oleh tanggung jawab. Cinta itu satu rasa yang bertunjangkan perasaan. Perasaan tanpa kekuatan jiwa dan kematangan berfikir akan goyah apabila mendapat ujian. “Perasaan” adalah hamba yang baik, tetapi tuan yang sangat buruk. Oleh karenanya, jikalau ingin selamat, pastikan perasaan “bekerja” untuk kita, bukan sebaliknya.

Akan tiba masanya, sesuatu yang kita lihat indah dahulu akan tidak indah lagi. Jikalau kita hanya bergantung kepada perasaan, cinta kita akan terinfeksi. Pada saat itu cinta memerlukan tanggung jawab, dan tanggung jawab menuntut suatu kepercayaan. Ketika cinta mulai goyah di di atas ombak kehidupan, tanggung jawab akan datang sebagai sekoci dengan peranan yang lebih berkesan.

Cinta memang hebat, tetapi ia tidak dapat menandingi tanggung jawab. Cinta yang hebat ialah cinta yang ditunjangi tangung jawab. Cinta itu untuk memberi bukan untuk menerima. Lafadz, “aku terima nikah...” oleh kita yang ikhwan, lalu bukan berarti kita layak menerima tetapi sebaliknya untuk memberi. Kita memikul tanggung jawab untuk memberi nafkah lahir-batin, kasih sayang, perhatian, pembelaan, didikan dan segalanya...

Pun begitu bagi kita yang akhwat, penerimaan kita sebagai pasangan hidup sang Ikhwan bukan berarti untuk kita menerima tetapi untuk memberi –memberi kesetiaan, kepatuhan, pembelaan dan seluruh jiwa raga kita untuknya. Kita telah membuat suatu janji yang paling suci dan tinggi dalam hidup kita, bukan untuk sesaat tetapi untuk selama-lamanya. Bukan hanya ketika rambutnya hitam tersisir rapi, tetapi hingga rambutnya putih dan mungkin tidak tumbuh-tumbuh lagi!

Itu baru ujian fisik. Belum lagi ujian batin yang berbentuk cemburu, jemu, marah, curiga dan lain-lain “virus” yang sejenis.
“Aku mencintainya, tetapi aku curiga apakah dia setia padaku?”
“Tergodakah dia bila di belakangku?”
Itulah contoh dialog hati yang merasuk bila ada cinta tetapi kurang ada percaya. Fobia dan trauma ini sering melanda bahtera rumah tangga. Ia akan menyebabkan hilangnya kebahagiaan, dan akhirnya berakhir pada perceraian.

Dan itulah sebagian besar fenomena masa kini, pasangan suami istri jarang sekali yang saling percaya atau hanya salah satu pihak yang percaya. Bukan karena tidak ada cinta, tetapi karena 'percaya' telah direduksi oleh 'curiga', 'rindu' telah berganti 'cemburu', hari-hari yang 'indah' berlalu menjadi hari-hari yang 'gelisah'. Fakta terkini menunjukkan, penceraian banyak terjadi bukan saja pada pasangan yang sudah kehilangan cinta, tetapi pada pasangan yang terlalu cinta.

Tidak adanya sifat percaya pada seseorang disebabkan dua faktor. Pertama, kita belum benar-benar mengenalinya. Kedua, karena kita telah benar-benar mengenalinya. Jikalau disebabkan faktor yang pertama, jalan terbaik ialah kenalilah pasangan kita dengan lebih mendalam. Berkenalan kali pertama dahulu (awal-awal pernikahan) adalah untuk menumbuhkan bibit-bibit cinta. Tetapi perkenalan kali kedua, ketiga dan seterusnya (yakni setelah usia pernikahan meningkat) adalah untuk menyuburkan bibit-bibit percaya. Adalah salah jikalau kita beranggapan yang kita telah kenal belahan jiwa kita dan terus menghentikan proses perkenalan. Sedangkan proses perkenalan dalam rumah tangga adalah “on going (berterusan) sifatnya.

Kita harus terus saling percaya walau apa pun yang terjadi, karena kita sadar bahwa kita nikah dengan manusia bukan dengan malaikat. Kita mengingatkan bila dia terlupa dan membantunya sewaktu dia ingat. Kepercayaan itu akan melahirkan tanggung jawab, dan tanggung jawab adalah oksigen cinta. Oksigen itulah yang akan memberi stamina kepada cinta untuk terus abadi dari dunia hingga ke syurga.

Jika antum wa antumna bertanya bagaimana memupuk kepercayaan? Jawabnya, kembalilah kepada pondasi kepercayaan. Apa lagi jikalau bukan Rukun Iman? Binalah semua jenis percaya di atas enam kepercayaan itu. Jikalau kita percaya kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kehendak-Nya, maka kita akan saling mempercayai antara satu sama lain. Percayalah kepercayaan kepada Allah itu adalah pangkal yang mengikat kepercayaan sesama manusia. Pangkal yang mempertautkan segala kebaikan. Ya, kepercayaan kita kepada Allah akan menyebabkan pasangan kita mempercayai kita.

“Ah, suamiku jauh. Tetapi aku percaya padanya. Dia adalah mukmin yang teguh pada nilai-nilai agama.”
“Aduh lamanya kita berpisah. Namun istriku, iman akan menjaga mu…”

Bila hancur sebuah cinta bererti hancurlah satu kepercayaan. Bila hancur kepercayaan berarti hancurlah iman. Sobat Mutiara Hati yang dimuiakan Allah, sekali lagi kutegaskan inilah oksigen cinta. Dan bagi kita yang masih belum mengenal cinta (antara lelaki dengan wanita), burulah sesuatu yang lebih utama daripada "dicintai" yaitu "dipercayai"! Bukankah nabi Muhammad saw itu lebih dahulu mendapat gelar ”Al Amin” (dipercayai) sebelum dicintai kaumnya, dan sebelum menemui srikandi cintanya Sayyidah Khadijah ra?
0 Responses

Posting Komentar

  • Berlangganan

    Sahabat yang ingin mutiara-mutiara ini langsung terkirim ke Email Sahabat, silahkan masukkan Email disini:

    Kacamata Dunia

    free counters