Insan ini hanya daya yang tersisa
Seonggok sukma yang kini tersekat dalam raga
Dimana disela waktu untuk-Nya
Ia dapat terhempas tanpa tanda nyata
Menghilang di fana dunia
Insan ini satu diantara yang tak ada
Satu dari keluasan yang tak terbaca
Mencoba merangkai satu asa
Dari langkah dakwah yang terengah – engah
Membangun sebuah peradaban indah dan megah
Yang bertahtakan pahala dan cinta
tuk mudah dipeluk Ridha-Nya
Insan ini yang kerap sekali meratap
Berharap kan ada kesempatan tuk buatnya menetap
Dengan segala keagungan-Nya yang perlahan ia tatap
Seonggok sukma yang kini tersekat dalam raga
Dimana disela waktu untuk-Nya
Ia dapat terhempas tanpa tanda nyata
Menghilang di fana dunia
Insan ini satu diantara yang tak ada
Satu dari keluasan yang tak terbaca
Mencoba merangkai satu asa
Dari langkah dakwah yang terengah – engah
Membangun sebuah peradaban indah dan megah
Yang bertahtakan pahala dan cinta
tuk mudah dipeluk Ridha-Nya
Insan ini yang kerap sekali meratap
Berharap kan ada kesempatan tuk buatnya menetap
Dengan segala keagungan-Nya yang perlahan ia tatap
Ada jutaan raga yang telah mengecap dunia. Tapi, barang kali, hanya segelintir orang yang berani mempertanyakan tentang siapa dirinya: Dari manakah mereka berasal? Apa makna hidup untuknya? Dan kemanakah mereka setelah kehidupan di dunia? Ada ribuan manusia, mungkin, yang mempertanyakan dirinya. Tapi, bisa jadi, hanya sejumlah jiwa yang menemukan jawabannya, jawaban sementara hal ihwal tentang ia dan sesama manusia, ia dan dunia/alam semesta, ia dan Tuhannya. Ya, di mutiara kali ini, izinkan saya menyinggung secuil perkara demikian, sesuatu yang -menurut saya- acapkali dilewatkan seorang anak manusia.
Pergulatan jiwa, pendakian diri, atau apapun namanya, tak bisa dipungkiri adalah hal yang jarang disinggung dan dihayati seseorang. Ia lewat begitu saja bersama fase kehidupan yang jamak terjadi. Lahir, balita, tumbuh, remaja, dewasa, bekerja, berumah tangga, manula, dan kemudian meninggal dunia. Atau, barangkali yang lebih ekstrem, siklusnya bisa jadi begini: numpang makan, minum, tidur, seks. Hmm... Jikalau begitu siklusnya, apa bedanya kita dengan hewan? Apa betul itu yang diharapkan Tuhan saat menciptakan kita, hamba yang diberikan status 'khalifah'? Padahal, pencarian jati diri manusia adalah domain paling fundamental agar hidup manusia tidak semata-mata berkubang dalam fase-fase menjemukan tanpa makna. Sayang, ironisnya, domain tersebutlah yang paling tidak diperhatikan. Seakan-akan semuanya sudah begitu adanya. Seolah-olah semuanya mengada tanpa perlu dipertanyakan, diselidik, dan ditelisik di dalam lingkar nalar; anugerah keunggulan manusia yang disebut sebagai AKAL. Tidakkah firman Allah yang berbunyi: "Afalaa ta'qiluun..?" (apakah kamu tidak memikirkan?) yang diulang-ulang dalam beberapa surah menjadi bahan renungan kita?
Akibatnya, tak aneh, betapa banyak manusia di muka bumi ini yang menyandang sebagai pengikut, bukan yang diikuti; banyak di antara kita yang lebih memilih dipimpin, bukan memimpin; banyak di antara kita yang hanya puas menjadi pengamat, bukan pengamal; menjadi penonton, bukan penuntun; dan banyak di antara kita yang gerak hidupnya menjadi pengekor, bukan pelopor. Efeknya, tentu saja, sangat dahsyat. Mereka -yang merasa- seakan-akan merintih dalam jiwa,
Sepi...
Hempaskan hati
Sunyi...
Raga berdiri
Tak tahu kemana kan melangkah pergi
Meniti jalan tanpa pasti
Jauh terbuai semu mimpi
Dalam kekosongan sejenak berdiam diri
Seketika hening menyergap malam
Seolah berada di dasar tebing curam
Sendiri tanpa impian juga angan
Semakin dalam dan menghilang
Tanpa sebuah kenangan,
Yang patut untuk dikenang.
Hempaskan hati
Sunyi...
Raga berdiri
Tak tahu kemana kan melangkah pergi
Meniti jalan tanpa pasti
Jauh terbuai semu mimpi
Dalam kekosongan sejenak berdiam diri
Seketika hening menyergap malam
Seolah berada di dasar tebing curam
Sendiri tanpa impian juga angan
Semakin dalam dan menghilang
Tanpa sebuah kenangan,
Yang patut untuk dikenang.
Tiada yang lebih dekat dengan kita kecuali diri kita sendiri. Jikalau kita tidak mengenal diri kita, bagaimana kita akan mengenal yang lain? Kita harus mencari hakikat diri kita sendiri. Dari manakah kita berasal? Apa makna hidup untuk kita? Dan kemanakah kita setelah kehidupan di dunia?
Untuk itu, di momen (menjelang) tahun baru 1432 H ini, tiada salahnya kita merenungi pertanyaan besar dan mendasar tersebut, agar hidup yang sebentar ini tidak sekedar melalui stasiun-stasiun masa yang melenakan, menjemukan dan membosankan; agar di dalam hidup terpatri spirit yang indah, berharga dan bermakna.
Saya jadi teringat catatanku yang terdahulu. Di dalamnya -meski sekarang ada sedikit revisi- terukir kata-kata -insyaALLAH- motivasional dan inspirasional yang menggugah dan saya tergoda ingin membaginya lagi di Mutiara kali ini. Begini bunyinya:
Hidup adalah Kesempatan...
Dan dalam kesempatan terdapat pilihan-pilihan.
Maka,,, aku telah memilih untuk tidak menjadi insan biasa.
Memang hakku untuk menjadi LUAR BIASA.
Aku mencari kesempatan, bukan menunggu kesempatan.
Aku tidak ingin menjadi insan yang terkungkung dan terpenjara,
direndahkan dan dihinakan oleh pihak yang berkuasa.
Aku siap menghadapi resiko terencana,
merealisasikan impian agung yang dijanjikan.
Terlalu murah jikalau aku dinilai dengan HARTA,
Terlalu rendah jikalau aku dihargai dengan TAHTA,
dan terlalu hina jikalau aku digadai dengan CINTA.
Aku yakin...
Kenikmatan mencapai impian, bukanlah utopia yang basi.
Oleh karenanya, aku memilih tantangan hidup, bukan pantangan hidup.
Aku tidak akan menjual harga diriku,
Tidak juga kemuliaan dakwahku,
hanya untuk mendapatkan Harta, Tahta, dan Cinta.
Aku tidak akan merendahkan diri,
Pada sembarang kekuasaan dan kekuatan dzalim yang terus mengancam.
Sudah menjadi warisanku untuk berdiri tegak, gagah, dan berani.
Aku berpikir dan bertindak dari diri sendiri,
Untuk meraih izzatul islam wal muslimiin.
Dengan berani menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, dan berkata
"Tsumma takuunu khilafatan 'ala minhajin nubuwwah,
Allahu Akbar...!!!"
Segalanya ini memberikan makna seorang insan sejati.
Dan dalam kesempatan terdapat pilihan-pilihan.
Maka,,, aku telah memilih untuk tidak menjadi insan biasa.
Memang hakku untuk menjadi LUAR BIASA.
Aku mencari kesempatan, bukan menunggu kesempatan.
Aku tidak ingin menjadi insan yang terkungkung dan terpenjara,
direndahkan dan dihinakan oleh pihak yang berkuasa.
Aku siap menghadapi resiko terencana,
merealisasikan impian agung yang dijanjikan.
Terlalu murah jikalau aku dinilai dengan HARTA,
Terlalu rendah jikalau aku dihargai dengan TAHTA,
dan terlalu hina jikalau aku digadai dengan CINTA.
Aku yakin...
Kenikmatan mencapai impian, bukanlah utopia yang basi.
Oleh karenanya, aku memilih tantangan hidup, bukan pantangan hidup.
Aku tidak akan menjual harga diriku,
Tidak juga kemuliaan dakwahku,
hanya untuk mendapatkan Harta, Tahta, dan Cinta.
Aku tidak akan merendahkan diri,
Pada sembarang kekuasaan dan kekuatan dzalim yang terus mengancam.
Sudah menjadi warisanku untuk berdiri tegak, gagah, dan berani.
Aku berpikir dan bertindak dari diri sendiri,
Untuk meraih izzatul islam wal muslimiin.
Dengan berani menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, dan berkata
"Tsumma takuunu khilafatan 'ala minhajin nubuwwah,
Allahu Akbar...!!!"
Segalanya ini memberikan makna seorang insan sejati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar