Satu rasa tanpa terasa
Satu kata telah tertata
Satu asa telah terbina
Telah menjalin erat pada mereka
Terhatur salam dalam doa
Terhatur berkorban untuk dunia
Terhatur berjuang bersama meraih surga
Tulus dari lubuk jiwa
Merekalah sahabat sejati kita
"Seorang sahabat bukanlah (sesungguhnya) sahabat, kecuali apabila dia memberikan perlindungan kepada temannya dalam tiga kesempatan: dalam kesukaran, dalam ketidakhadiran, dan dalam kematiannya," demikian Imam Ali bin Abi Thalib ra pernah berucap.
Ucapan Imam Ali tersebut patut untuk kita renungkan. Terlebih lagi kita ini sekarang hidup dan tinggal pada zaman di mana harta, uang, kedudukan, dan pangkat benar-benar dijunjung tinggi dan dihargai lebih dari apa pun oleh banyak orang.
Dulu, sangatlah mudah menjumpai orang menolong atau membantu orang lain dengan sepenuh rela sepenuh ikhlas. Sekarang, sangat mudah menjumpai orang menolong atau membantu orang lain dengan sepenuh pamrih sepenuh maksud. Dulu, mudah membina dan membangun persahabatan atas dasar cinta dan kasih sayang. Sekarang, mudah melihat hubungan pergaulan, pertemanan, dan persahabatan atas dasar tujuan dan target yang ditentukan.
Dahulu, sahabat sejati adalah sahabat yang saling bersama dalam kesukaran, ketidakhadiran, dan kematian. Ketika dalam kesukaran, sahabat kita mau membantu dan menolong kita meringankan dan mengatasi kesukaran tersebut. Ketika dia tidak hadir di samping kita, dia sanggup menjaga nilai-nilai persahabatan: tidak menggunjing, tidak memfitnah, tidak menyebar borok-borok kelemahan dan kekhilafan yang kita miliki sebagai manusia biasa. Ketika ada saudara atau orang yang kita cintai meninggal dunia, sahabat kita datang dengan hati yang pedih sambil memanjatkan doa tulus agar Allah swt. menerima di sisi-Nya.
Sekarang, sungguh mudah menemukan sahabat yang telah dianggap sejati justru menjadi musuh yang paling dibenci dan dimuaki. Ketika sahabat itu ada di samping kita, dia menampakkan wajah yang ceria, suka, ramah, dan sangat menyenangkan. Tetapi, ketika dia jauh dari kita dan bersama orang lain, dengan tega-teganya dia membeberkan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang kita miliki. Bahkan, kalau dirasa ada untungnya (apalagi untungnya gede), tak segan-segan dia memfitnah kita demi menarik simpati orang yang diajak berbicara.
Beruntung misalnya kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa salah satu sahabat kita telah menikam kita dari belakang. Beruntung kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa dia telah merobek-robek nama kita seperti merobek-robek kain kafan; telah menjegal kita seperti pemain sepak bola menelikung lawan; telah menikam jiwa kita seperti seekor singa menikam mangsanya.
Kalau kita tahu?
Bagaimana kalau suatu saat kita tahu dan sadar bahwa selama ini, tanpa sepengetahuan kita, dia rela menjual nama kita, menjelek-jelekkan kita, dan bahkan memfitnah kita?
Tapi, apakah hal yang seperti itu pernah terjadi? Tanyakan kepada diri kita sendiri. Tanyakan juga kepada orang-orang di sekitar kita. Tanyakan kepada Julius Caesar dan Brutus! Tanyakan kepada al-Qur'an, sedangkan salah satu ayat-Nya telah memberi peringatan kepada kita:
Ucapan Imam Ali tersebut patut untuk kita renungkan. Terlebih lagi kita ini sekarang hidup dan tinggal pada zaman di mana harta, uang, kedudukan, dan pangkat benar-benar dijunjung tinggi dan dihargai lebih dari apa pun oleh banyak orang.
Dulu, sangatlah mudah menjumpai orang menolong atau membantu orang lain dengan sepenuh rela sepenuh ikhlas. Sekarang, sangat mudah menjumpai orang menolong atau membantu orang lain dengan sepenuh pamrih sepenuh maksud. Dulu, mudah membina dan membangun persahabatan atas dasar cinta dan kasih sayang. Sekarang, mudah melihat hubungan pergaulan, pertemanan, dan persahabatan atas dasar tujuan dan target yang ditentukan.
Dahulu, sahabat sejati adalah sahabat yang saling bersama dalam kesukaran, ketidakhadiran, dan kematian. Ketika dalam kesukaran, sahabat kita mau membantu dan menolong kita meringankan dan mengatasi kesukaran tersebut. Ketika dia tidak hadir di samping kita, dia sanggup menjaga nilai-nilai persahabatan: tidak menggunjing, tidak memfitnah, tidak menyebar borok-borok kelemahan dan kekhilafan yang kita miliki sebagai manusia biasa. Ketika ada saudara atau orang yang kita cintai meninggal dunia, sahabat kita datang dengan hati yang pedih sambil memanjatkan doa tulus agar Allah swt. menerima di sisi-Nya.
Sekarang, sungguh mudah menemukan sahabat yang telah dianggap sejati justru menjadi musuh yang paling dibenci dan dimuaki. Ketika sahabat itu ada di samping kita, dia menampakkan wajah yang ceria, suka, ramah, dan sangat menyenangkan. Tetapi, ketika dia jauh dari kita dan bersama orang lain, dengan tega-teganya dia membeberkan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang kita miliki. Bahkan, kalau dirasa ada untungnya (apalagi untungnya gede), tak segan-segan dia memfitnah kita demi menarik simpati orang yang diajak berbicara.
Beruntung misalnya kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa salah satu sahabat kita telah menikam kita dari belakang. Beruntung kita tidak tahu dan tidak sadar bahwa dia telah merobek-robek nama kita seperti merobek-robek kain kafan; telah menjegal kita seperti pemain sepak bola menelikung lawan; telah menikam jiwa kita seperti seekor singa menikam mangsanya.
Kalau kita tahu?
Bagaimana kalau suatu saat kita tahu dan sadar bahwa selama ini, tanpa sepengetahuan kita, dia rela menjual nama kita, menjelek-jelekkan kita, dan bahkan memfitnah kita?
Tapi, apakah hal yang seperti itu pernah terjadi? Tanyakan kepada diri kita sendiri. Tanyakan juga kepada orang-orang di sekitar kita. Tanyakan kepada Julius Caesar dan Brutus! Tanyakan kepada al-Qur'an, sedangkan salah satu ayat-Nya telah memberi peringatan kepada kita:
"...Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa..."
(QS. az-Zukhruf: 67)
Lantas, bagaimana kita mencari sahabat, memperlakukan sahabat, dan membina persahabatan yang sejati dalam pandangan agama?
Pertama-tama, yang perlu kita sadari adalah kenyataan bahwa betapapun kita akrab dengan sahabat kita -sehingga kita menyebutnya sebagai sahabat sejati- itu tetap tidak bisa menolak dia -yakni sahabat sejati kita itu- tetaplah orang asing bagi kita dalam arti dia hanya sebatas sahabat kita. Bukan saudara kandung kita. Bukan pula orang yang bertalian darah secara dekat dengan kita. Padahal, kita tentunya juga tahu dan paham bahwa terkadang kita menjumpai bagaimana sesama saudara kandung saling merendahkan, saling menghinakan, dan salinf mencaci-maki. Maka, apalagi hanya sebagai seorang sahabat? Walau sahabat sejati?
Fakta bahwa dia itu hanya sekedar sahabat kita itulah sehingga potensi bahwa persahabatan kita dengannya suatu saat bisa rusak sangatlah ada; sangat niscaya terjadi.
Lalu bagaimana?
Makanya, yang perlu kita perhatikan juga adalah penting bagi kita untuk memilih-milih sahabat dengan kriteria agama, yakni satu pemikiran dan satu perasaan. Bukan sekedar satu tujuan. Apa yang digambarkan oleh Imam Ali ra di atas sesungguhnya merujuk pada sahabat sejati berdasarkan agama yang memiliki satu pemikiran dan satu perasaan. Konkretnya, janganlah kita bersahabat dengan orang yang beda pemikiran dan tentunya juga beda perasaan, meski orang tersebut satu tujuan. Atau, bila kita tetap bersahabat dengan seseorang karena memiliki tujuan yang sama, tanpa memiliki satu pemikiran dan satu perasaan untuk menggapai tujuan yang sama tersebut, maka berhati-hatilah bahwa suatu saat sahabat kita mengkhianati kita, ia akan menikam, menjegal, dan bahkan memfitnah kita apabila kita menjadi batu sandungan baginya untuk menggapai tujuan tersebut. Contohnya, tengoklah kembali kisah agung Abu Bakar ra melindungi Rasullah saw di dalam dua meski ia kesakitan digigit ular, atau Ali ra yang menggantikan Rasulullah saw tidur di tempat tidurnya meski nyawanya terancam, dan banyak lagi kisah agung sahabat sejati lainnya.
Pertama-tama, yang perlu kita sadari adalah kenyataan bahwa betapapun kita akrab dengan sahabat kita -sehingga kita menyebutnya sebagai sahabat sejati- itu tetap tidak bisa menolak dia -yakni sahabat sejati kita itu- tetaplah orang asing bagi kita dalam arti dia hanya sebatas sahabat kita. Bukan saudara kandung kita. Bukan pula orang yang bertalian darah secara dekat dengan kita. Padahal, kita tentunya juga tahu dan paham bahwa terkadang kita menjumpai bagaimana sesama saudara kandung saling merendahkan, saling menghinakan, dan salinf mencaci-maki. Maka, apalagi hanya sebagai seorang sahabat? Walau sahabat sejati?
Fakta bahwa dia itu hanya sekedar sahabat kita itulah sehingga potensi bahwa persahabatan kita dengannya suatu saat bisa rusak sangatlah ada; sangat niscaya terjadi.
Lalu bagaimana?
Makanya, yang perlu kita perhatikan juga adalah penting bagi kita untuk memilih-milih sahabat dengan kriteria agama, yakni satu pemikiran dan satu perasaan. Bukan sekedar satu tujuan. Apa yang digambarkan oleh Imam Ali ra di atas sesungguhnya merujuk pada sahabat sejati berdasarkan agama yang memiliki satu pemikiran dan satu perasaan. Konkretnya, janganlah kita bersahabat dengan orang yang beda pemikiran dan tentunya juga beda perasaan, meski orang tersebut satu tujuan. Atau, bila kita tetap bersahabat dengan seseorang karena memiliki tujuan yang sama, tanpa memiliki satu pemikiran dan satu perasaan untuk menggapai tujuan yang sama tersebut, maka berhati-hatilah bahwa suatu saat sahabat kita mengkhianati kita, ia akan menikam, menjegal, dan bahkan memfitnah kita apabila kita menjadi batu sandungan baginya untuk menggapai tujuan tersebut. Contohnya, tengoklah kembali kisah agung Abu Bakar ra melindungi Rasullah saw di dalam dua meski ia kesakitan digigit ular, atau Ali ra yang menggantikan Rasulullah saw tidur di tempat tidurnya meski nyawanya terancam, dan banyak lagi kisah agung sahabat sejati lainnya.
Selama ini. Kumencari-cari. Teman yang sejati.
Buat menemani. Perjuangan suci...
Bersyukur kini. PadaMu Illahi.
Teman yang dicari. Selama ini. Telah kutemui...
Dengannya di sisi. Perjuangan ini. Senang diharungi. Bertambah murni.
Kasih Illahi. KepadaMu Allah. Kupanjatkan doa.
Agar berkekalan. Kasih sayang kita.
Kepadamu teman. Ku pohon sokongan.
Kepadamu teman. Ku pohon sokongan.
Pengorbanan dan pengertian. Telah kuungkapkan. Segala-galanya...
Kepada-Mu Allah. Kupohon restu. Agar kita kekal bersatu.
Kepadamu teman. Teruskan perjuangan.
Pengorbanan dan kesetiaan. Telah kuungkapkan. Segala-galanya.
Itulah tandanya. Kejujuran kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar