Saat cinta semakin pudar,
Dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil saat prahara terjadi.
Saat ujian demi ujian-Nya terasa menjadi derita untuk ditanggung sendiri,
Dan bahtera rumah tangga semakin oleng saat diterpa badai.
Kemanakah kita harus mencari kekuatan agar hati mampu terus bertasbih,
dan rumah tangga tetap terjaga keutuhan dan keharmonisannya?!?
Dan hati menjelma serpihan-serpihan kecil saat prahara terjadi.
Saat ujian demi ujian-Nya terasa menjadi derita untuk ditanggung sendiri,
Dan bahtera rumah tangga semakin oleng saat diterpa badai.
Kemanakah kita harus mencari kekuatan agar hati mampu terus bertasbih,
dan rumah tangga tetap terjaga keutuhan dan keharmonisannya?!?
Ada apa dengan cinta? Untuk apa kita mencinta dan dicintai? Untuk menjawabnya, mari kita pikirkan sebuah analogi, analogi cinta. Pikirkan tentang sebatang pena. Pena dicipta untuk menulis. Selama ia digunakan untuk menulis, selama itulah pena itu berada dalam keadaan selamat dan berguna. Tetapi sekiranya pena itu digunakan untuk memukul, maka ia akan rusak. Mengapa? Pena akan rusak sekiranya ia disalahgunakan dengan tujuan ia diciptakan. Ia diciptakan untuk menulis, bukan memukul. Pena yang disalahgunakan akan rusak. Apabila rusak, ia akan dibuang ke dalam tong sampah. Ketika itu ia tidak dinamakan pena lagi. Ia dinamakan SAMPAH!
Begitulah juga cinta. Cinta diciptakan oleh Allah untuk kita beribadah kepada-Nya. Selama cinta berlandaskan dan bertujuan ibadah, yakni selaras dengan tujuan ia diciptakan, maka selama itu cinta itu akan selamat dan bahagia. Sebaliknya, jika cinta itu diarahkan secara bertentangan dengan tujuan ia diciptakan, maka cinta itu akan musnah dan memusnahkan. Keindahan cinta itu akan pudar dan tercela.
Ada sebuah kisah, kisah nyata. (singkatnya) Ketika itu hiduplah pasangan suami-istri dengan perasaan yang hambar dan tawar. Hidup berumah tangga tanpa cinta umpama kapal yang belayar tanpa angin. Keserasiannya mudah retak. Hanya karena kesalahan yang sedikit, perdebatan mudah terjadi. Keadaan rumah tangganya pada waktu itu boleh diumpamakan sebagai “hidup segan, mati tak mau”.
"Pergi kau dari sini! Aku sudah muak hidup denganmu. Bukannya bahagia yang kudapat, tapi malah derita. Bukannya kamu yang menafkahi keluarga, tapi malah aku. Segera aku belikan surat-surat (maksudnya surat cerai -pen), ceraipun aku tak takut." Kata si istri ke suaminya
Pagi hari yang cerah, bersama kicau burung yang indah. Tak seindah dan secerah anak mereka yang sudah kelas 3 SMA. Ketika sekolah, konsentrasinya pecah, dan cita-citanya pun mulai tak terarah, saat melihat hubungan orang tuanya yang ibarat telur diujung tanduk. Dan ketika pulang sekolah, ia melihat tidak ada satupun pakaian ayahnya yang ada dilemari baju, itu artinya genderang perceraian benar-benar sudah ditabuh (bukan lagi di luar rumah, tapi) di dalam rumah dengan perginya sang ayah ke rumah asalnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa agar orang tuanya bisa harmonis lagi. Pikirannya hampa, dan air matanya terus mengalir. Tanpa berpikir panjang, ia juga mengemasi pakaiannya, berniat pergi juga entah kemana.
Ketika senja mulai terperangkap, waktu itu ibunya sedang keluar, ia pamitan kepada neneknya. "Nenek, saya pergi dulu. Tolong sampaikan ke ibu, bila mau jemput saya, jemputlah bersama ayah" katanya sambil mengecup kening neneknya yang sedang tidur-tiduran tak bisa mencegah cucunya, hanya air mata mengiringi kepergian si cucu.
Hari berganti hari, belum ada tanda-tanda orang tuanya kembali akur. Hanya ibunya sibuk tanya keberadaannya kepada teman-teman sekolahnya. "Kamu ada dimana? Ibumu cari kamu!" tanya salah seorang temannya, ia tak merespon sama sekali. Namun di malam harinya, ia kembali tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi setalah punya 3 anak? Kalau memang tidak bahagia, kenapa bisa lahir saya sebagai anak pertama?. Akhirnya dia menulis sepucuk surat dengan satu paragraf (+alamat dimana dia tinggal sementara) kepada Ibunya, dan keesokannya harinya dititipkan ke temannya yang dulu tanya-tanya keberadaannya.
Benar juga, malam harinya, setelah siangnya dititipkan ke temannya, Ibunya menjemput. Tapi sayang, ia kecewa karena Ibunya datang sendirian, tanpa ayah. Sebenarnya ia enggan menemui Ibunya, tapi akhirnya dia menemui Ibunya meski terpaksa.
"Nak, ayo ikut Ibu jemput bapakmu!" ajak si ibu. Ajakan yang belum terlintas dalam pikirannya setiap malam. Yang dia pikirkan adalah Ibunya menjemputnya bersama ayahnya. Ternyata Allah memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Singkat kata singkat cerita. Akhirnya keluarganya selamat dari kehancuran.
Pertanyaanya, apa isi surat sang anak kepada Ibunya, sehingga Ibu mengajak anaknya untuk menjemput suaminya? si anak menulis: . . .
Pernikahan adalah sebuah perjuangan kebahagian, ia tidak pernah sempurna tanpa adanya cinta. Dan cinta tidak pernah datang dengan cara mudah datang dari langit. Semuanya harus diperjuangkan. Seringkali cinta itu baru mekar setelah melewati berbagai macam derita. Hingga kita harus tersadar bahwa derita bukanlah musuhnya cinta, tapi derita itu sedang membuat cinta menjadi lebih dewasa.
Memang, pada usia 40-an dan ke atas, suami istri akan dilanda satu krisis yang dinamakan oleh pakar-pakar psikologi sebagai krisis pertengahan umur. Pada waktu itu hormon testosteron akan berkurang seiring terjadinya beberapa perubahan yang “mengejutkan”.
Lelaki Andropaus
Kaum lelaki akan mengalami fase andropous yang mengakibat kurang daya rangsangan seks, cepat rasa letih, perubahan emosi seperti cepat marah,cepat merajuk, mudah rasa tertekan dan “mood” yang berubah-ubah. Pada waktu inilah lelaki akan diserang oleh pelbagai rasa yang meresahkan. Antara lain ialah dia mulai merasa tidak bahagia dengan hidup dan gaya hidupnya sendiri.
Manakala secara interpersonal dia mulai merasa bosan dengan individu-individu yang berada di sekelilingnya. Dari sudut kerja dan hobinya, tiba-tiba ada bidang lain yang menarik minatnya. Dia seolah-olah menjadi remaja untuk kali kedua walaupun dalam keadaan tenaga dan upaya semakin menyusut.
Lelaki andropaus juga dilanda penyesalan tentang pilihan-pilihan yang telah dan pernah dibuatnya dalam hidup. Mengapa aku memilih yang ini, tidak yang itu? Sampai pada satu tahap, dia berasa marah dengan istrinya dan rasa terikat dengannya. Dan yang paling mengintimidasi apabila mulai timbul keinginan untuk menjalinkan hubungan baru. Jangan terkejut jika pada usia ini lelaki yang selama ini “aku padamu” pun akan berlaku curang!
Wanita Menopaus
Bagi kaum wanita pula, mereka akan mengalami fase menopaus. Tahap ini juga melibatkan perubahan fisikal, tingkah laku, emosi dan kejiwaan. Perubahan ini bisa mengarah kepada kebaikan, maupun sebaliknya. Wanita yang mengalami fase ini akan terdorong untuk lebih berdikari dan mandiri. Fokusnya lebih kepada ke-aku-annya. Dia ingin memiliki kemampuan keuangan sendiri, hobi dan objektif sendiri dan pelbagai lagi yang “sendiri”. Pada waktu itu ada wanita yang mengejar kembali atau “impian” semula apa yang tidak dapat dicapainya semasa muda.
Walau apapun krisis yang melanda diri suami dan istri, Islam punya cara untuk menangani krisis pertengahan umur. Islam adalah agama fitrah yang mampu menghadapi perubahan dalam fitrah kehidupan berumah tangga. Selagi berpegang kepada aqidah, syariat dan akhlak islamiah lelaki andropaus dan wanita menopaus akan dapat mengawali perubahan biologi maupun psikologi ke arah kebaikan.
Hakikatnya, siapa kita sewaktu tua direflesikan oleh masa muda kita. Jika cinta kita dibina atas tujuan beribadah, maka tujuan itu mampu mempertahankan kita daripada landaan godaan, cobaan dan masalah yang datang bersama krisis pertengahan umur. Jika pangkal jalan kita benar, betul dan kukuh maka mudahlah kita kembali ke pangkal jalan itu apabila dirasakan ada yang 'tersesat' di pertengahan jalan kehidupan itu.
Suami andropaus dan istri menopaus hakikatnya diuji dengan keegoan (ketakaburan). Sama-sama ego. Cuma biasanya ego lelaki lebih terserlah, manakala ego wanita lebih tersembunyi. Ego itulah yang menyebabkan suami merasakan dirinya lebih baik, gagah dan berupaya sehingga mula menjalinkan hubungan dengan wanita lain. Ego itulah yang menyebabkan istri mulai merasa kuat dan mampu melalui kehidupan tanpa bersandar lagi kepada pandangan dan pimpinan suami. Dan ego itulah juga yang menyebabkan kedua-duanya melakukan aktivitas atau tindakan yang bertentangan dengan syariat.
Penyakit Ego
Ego dengan manusia bertolak dari ego kepada Allah. Orang yang besar diri sebenarnya tidak mengenal kebesaran Allah. Jika Allah “dibesarkan” dalam dirinya, niscaya terasa kerdillah diri dan dengan itu seseorang manusia akan mudah berhubungan dengan manusia lain. Mengenal Allah juga akan membuahkan rasa cinta kepada-Nya. Dan cinta kepada Allah itulah sumber cinta kita sesama manusia. Gugurlah tiga ciri ego – merasa diri lebih baik, memandang hina orang lain dan menolak kebenaran dari diri suami dan istri. Dan dengan begitu, mudahlah mereka berdua menghadapi krisis pertengahan umur.
Jadi, sangat penting dijaga niat dalam membina cinta dalam rumah tangga. Ia hakikatnya satu hijrah dari alam bujang ke alam pernikahan dan hijrah itu mestilah didorong oleh niat yang baik, benar dan betul. Berniatlah nikah hanya karena Allah, karena itulah pangkal jalan yang dapat kita susuri kembali apabila bertemu dengan masalah dalam kehidupan berumah tangga pada awal, pertengahan atau di ujung nanti. Ingatlah pesan Rasulullah saw. bahwa seseorang akan mendapat ganjaran atau balasan mengikut apa yang diniatkannya.
Bagaimana pula dengan pasangan yang telah terlanjur? Maksudnya, mereka yang menikah tanpa sedikit pun terniat karena Allah? Yang menikah hanya atas dorongan fitrah dan dilangsungkan atas dasar adat bukan ibadat? Perlu diingat, tidak ada istilah terlambat dalam melakukan satu kebaikan. Selagi ada nyawa di badan, maka selagi itulah kita mampu membetulkan atau memperbaharui niat dalam pernikahan. Bertaubatlah atas niat yang salah dan sebagai gantinya, binalah niat baru yang lebih benar dan jitu.
Gelanggang Ibadah
Katakan pada diri bahwa rumah tangga ini pada hakikatnya ialah gelanggang untukku dan pasanganku serta seluruh anggota keluargaku untuk beribadah kepada Allah. Selagi semua anggota keluarga beribadah dan rumah tangga dijadikan gelanggang ibadah, maka akan wujudlah ketenangan, kemesraan dan kasih sayang sesama mereka. Apalagi keluarga yang dibangun adalah keluarga pengemban Dakwah!
Katakan juga bahwa rumah tanggaku akan hancur sekiranya ia tidak lagi menjadi gelanggang ibadah buat seluruh anggota keluargaku. Aku, belahan jiwaku dan anak-anak yang berperilaku bertentangan dengan tujuan kami diciptakan akan merobohkan syurga yang indah ini.
Memang pada awal rumah tangga dibina segalanya akan nampak indah. Ini karena segala-galanya terbina di atas fitrah… Maksudnya semua manusia secara fitrahnya (instink) inginkan cinta. Seorang lelaki inginkan kasih sayang seorang istri dan begitulah sebaliknya. Tetapi cinta yang berasaskan fitrah saja tidak cukup untuk mempertahankan keharmonisan dalam sebuah rumah tangga.
Fitrah perlukan syariat. Syariat itu ialah peraturan Allah. Melaksanakan syariat itulah ibadah. Syariatlah yang mengatur, menyubur dan mengawal fitrah. Allah yang mengaruniakan cinta dan Allah jualah yang menurunkan syariat untuk mengawal dan menyuburkannya. Jika tidak, cinta akan tandus. Kasih akan pupus. Sama ada dalam diri lelaki andropaus maupun wanita menopaus.
Ingatlah bahwa cinta itu adalah rasa. Ia tidak terbina oleh urat, daging dan tulang. Tetapi ia rasa yang terbina di hati. Di daerah rasa, tidak ada tua atau muda. Tidak ada permulaan, pertengahan atau pengakhiran. Di hati yang beriman, tetap ada cinta. Cinta tetap muda walaupun yang usia telah tua… justru cinta itulah yang membentuk hati yang sejahtera, bekal kita ke alam syurga!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar