Siangku muram, dibatas cakrawala pertama yang kian tenggelam. Beratap awan menghitam. Menghantar hati pada rasa yang kian dalam. Begitu dalam. Buatku terdiam berucap memendam. Membisu selayak pualam. Disisi lentera yang perlahan padam. Disisi kelamnya malam, bergetar rasaku dalam diam. Dalam sesal yang kian mencekam. Dalam kecewanya yang kian menghujam. Dalam rasa tak percaya yang kian menghantam. Realita menyungkurkanku pada lembah tak bertuan. Semua karena kesalahan yang tak seharusnya kulakukan. Semua karena kegagalan yang tak segera kubuat pelajaran. Semua karena penyesalan yang seharusnya lebih dulu kurasakan.
Tersarukku kini dalam luka. Terperih akan tiap tetes matanya. Membenci diri tiada terkata. Semua menyisakan tanya. Mengapa? Tanpa ada jawab walau sepatah. Semua menyisakan tanda. Inikah saya? Seonggok sukma kecil hina. Hanya seuntai harapan yang kini ada. Bergelanyut pada kasih sayang-Nya. Berharap semua kan segera sirna. Kembali hanya pada untaian kata, Hidup Mulia atau Hidup Bahagia!. Dan kembali menggores kata dalam pena, yang penuh tinta, yang banyak memeras air mata. Untuk berbagi Mutiara hidup yang bermakna.
Jikalau derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,
Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang masa.
Jikalau kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa tidak dinikmati saja,
Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalau luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,
Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.
Jikalau kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,
Sedang menahan diri adalah lebih berpahala.
Jikalau kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,
Sedang taubat itu lebih mulia.
Jikalau harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti kikir pada sesama,
Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
Jikalau kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,
Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.
Jikalau bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti egois merasakannya,
Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna.
Jikalau hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,
Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,
Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta.
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari biasa yang binasa, pada suatu ketika yang telah lama dan akan kita ketahui. Ketika semua telah menjadi masa lalu. Aku ingin ada di antara mereka. Yang bertelekan di atas permadani, sambil bercengkerama dengan tetangganya. Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu, hingga mereka mendapat anugerah itu.
[(Duhai sahabat, dulu aku miskin dan menderita, namun aku tetap berusaha senantiasa bersyukur dan bersabar. Dan ternyata, derita itu hanya sekejap saja dan cuma seujung kuku, di banding segala nikmat yang kuterima di sini) -o-
(Wahai sahabat, dulu aku membuat dosa sepenuh bumi, namun aku bertobat dan tak mengulang lagi hingga maut menghampiri. Dan ternyata, ampunan-Nya seluas alam raya, hingga sekarang aku berbahagia)]
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari biasa yang binasa, pada suatu ketika yang telah lama dan akan kita ketahui. Ketika semua telah menjadi masa lalu. Aku tak ingin ada di antara mereka. Yang berpeluh darah dan berkeluh kesah: Andai di masa lalu mereka adalah tanah saja.
[(Duhai...! harta yang dahulu kukumpulkan sepenuh raga, ilmu yang kukejar setinggi langit, kini hanyalah masa lalu yang tak berarti. Mengapa dulu tak kubuat menjadi amal jariyah yang dapat menyelamatkanku kini?) -o-
(Duhai...! nestapa, kecewa, dan luka yang dulu kujalani, ternyata hanya sekejap saja dibanding sengsara yang harus kuarungi kini. Mengapa aku dulu tak sanggup bersabar meski hanya sedikit jua?)]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar