Cintaku, bukanlah Cinta Biasa.

Biarlah kita hidup sering berpisah,
Itu semua demi amanah dakwah.
Karena syurga menagih ujian berat,
Sedangkan neraka dipagari nikmat.

Dipegang jubah suaminya. Matanya yang jernih menatap sayu. “Apakah ini karena Allah?” tanya hampir berbisik. “Ya, wahai istriku. Semua ini karena Allah,” jawab suaminya lalu segera berlalu. Tanpa toleh, tanpa berpaling.

Mendengar jawaban itu Sayyidah Hajar ra tidak berkata apa-apa lagi. Mata dan hatinya mengantar suaminya Ibrahim as berlalu pergi. Tega dan ridha. Jikalau suamiku meninggalkanku karena Allah, aku pun harus rela ditinggalkan juga karena Allah, mungkin itulah renungan hati Sayyidah Hajar ra sewaktu ditinggalkan Nabi Ibrahim as.

Itulah sedikit gambaran perpisahan karena Allah. Nabi Ibrahim as rela meninggalkan istri dan anaknya Ismail as di bumi yang kering kerontang, suatu lembah yang gersang jauh dari keramaian. Ya, itu semua demi perintah Allah. Demi cinta Ilahi yang lebih tinggi dan suci, ditinggalkannya cinta terhadap anak dan istrinya. Itulah hati Nabi Ibrahim as. Jikalau dulu Ia diuji dengan panasnya api yang membara, kini dia diuji lagi oleh perpisahan dengan anak dan istri.

Jangan disangka hanya Sayyidah Hajar ra saja yang menderita ditinggalkan, tetapi bayangkanlah juga derita suaminya Nabi Ibrahim as yang “meninggalkan”. Terkadang orang yang meninggalkan lebih pahit dan sakit tanggungannya daripada orang yang ditinggalkan. Namun apalah pilihan Ibrahim, bila cinta Allah telah berbicara, cinta yang lain akan membisu seribu bahasa.

Mengapa hanya kata-kata “apakah semua ini karena Allah?” yang diminta kepastian oleh Sayyidah Hajar ra terhadap suaminya, Nabi Ibrahim ra? Mengapa tidak ada ucapan yang lain? Mengapa tidak diucapkan, “kenapa sampai hati kau berbuat begini?” Tidak, ucapan sejenis itu sama sekali tidak keluar dari lisan suci istri shalihah seperti Sayyidah Hajar ra. Apa yang hendak dipastikannya hanyalah satu, semua itu dilakukan oleh suaminya karena Allah. Bila karena Allah, tenanglah hati Sayyidah Hajar ra. Allah pasti tidak akan mengecewakannya, suaminya pun tidak akan dan tiada bermaksud menganiayanya.

Bertemu karena Allah, bersatu karena Allah, berpisah pun karena Allah. Itulah tradisi dalam cinta para shalihin dan muqarrabin. Dan ibrah bagi kita, untuk mengekalkan cinta dalam rumah tangga atau yang lain, inilah teras dan asasnya. Jangan ada “karena” yang lain. Jikalau ada yang lain, pasti cinta itu tergugat jua walaupun bagaimana teguhnya janji dan peneguhan kata yang pernah dimeterai. Untuk mengekalkan cinta, ini saja prinsipnya –berbuatlah apa saja karena Allah. Lurus dan tulus, tanpa belok dan bengkok.

Sekalipun terpisah, namun cinta Nabi Ibrahim as dan Sayyidah Hajar ra tidak pernah luntur. Itu karena keduanya berpegang kepada asas cinta yang hakiki, cinta Ilahi. Dan bila mereka bertemu kembali, beberapa tahun kemudian, cinta itu teruji lagi. Kali ini Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Allah swt untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim bertekad, Ismail pun mesti dikorbankan. Tetapi bagaimana Sayyidah Hajar ra?

Sayyidah Hajar ra teruji lagi. Nilai anak bagi seorang ibu, terkadang melebihi nilai dunia dan isinya. Ikatan hati antara ibu dan anak jauh lebih teguh dan kukuh daripada ikatan kimia. Sekali lagi “jika itu kehendak Allah”, dia pasrah. Allah pasti tidak akan mengecewakannya, seperti air zam-zam yang menyuburkan lembah Makkah yang gersang, maka begitulah iman yang memperkasa jiwa Sayyidah Hajar ra. Sekali lagi dia rela dan tega.

Kali ini kusadari,
Aku telah jatuh cinta,
Dari hati yang terdalam...
Sungguh, aku cinta pada-Mu...

Cintaku bukanlah cinta yang biasa,
Bila Kamu yang memiliki,
Dan Kamu yang temaniku seumur hidupku...

Terimalah pengakuanku...
(Lirik by Afgan's song)

Ah, begitu agungnya sejarah itu. Namun, dimanakah asas cinta seperti itu di masa kini? Berita perselingkuhan semakin marak di berbagai media, angka perceraian melonjak semakin tinggi. Janji hidup bersama dan mati berdua, hanya jadi mainan kata di awal-awal penikahan. Seiring semakin berlalunya musim bulan madu, cinta semakin hari semakin terkikis. Tak usah untuk mati berdua, hidup bersama pun sudah tidak mau lagi. Suami jemu dengan ulah istri, dan istri bosan dengan tingkah suami. Dan akhirnya, perceraian pun tidak dapat dielakkan lagi.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, karena dalam hati suami dan istri telah lenyap prinsip “karena Allah”. Memang, kita tidaklah setabah Sayyidah Hajar ra dan setegar Nabi Ibrahim as. Namun setidak-tidaknya kita mengakui dan senantiasa berusaha untuk bersabar dengan peneguhan kata karena Allah. Inilah yang bisa kita pelajari dari cinta dan sabar dalam rumah tangga Nabi Ibrahim as dan isterinya Sayyidah Hajar ra. Sesungguhnya, cinta mereka itu bukanlah cinta biasa!
0 Responses

Posting Komentar

  • Berlangganan

    Sahabat yang ingin mutiara-mutiara ini langsung terkirim ke Email Sahabat, silahkan masukkan Email disini:

    Kacamata Dunia

    free counters