Sobat Mutiara Hati yang dimuliakan Allah, kita dihadapkan pada realitas bahwa Akhwat yang sesuai kriteria fiqih islam untuk kita nikahi ada sekian banyak jumlah dan macamnya. Di antara sekian banyak Akhwat yang telah memasuki usia siap nikah, mereka berbeda-beda jumlah bilangan usianya yang oleh karena itu berbeda pula tingkat kemendesakan untuk menikah. Beberapa orang bahkan sudah mencapai usia 35th, sebagian yang lain antara 30th hingga 35th, sebagian berusia 25th hingga 30th, dan yang lainnya dibawah 25th. Mereka semua ini siap menikah, siap menjalankan fungsional sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga. Maka siapakah yang lebih kita pilih, dan dengan pertimbangan apa kita memilih si Dia?
Ternyata kita memilih si Fulanah, karena ia memenuhi kriteria kebaikan agama, cantik rupawan, cerdas dan usia masih muda 20th. Apakah pilihan kita ini salah? Sumpah, demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, pilihan kita ini tidak salah! Kita telah memilih dengan benar, dan memenuhi sunnah Rasul saw. Nah masalahnya, apabila kita semua(Ikhwan) berpikiran dan menentukan calon istri harus memiliki kecantikan ideal, berkulit putih, usia 5th lebih muda atau lebih muda lagi dari kita. Maka siapakah yang akan datang melamar muslimah yang usianya diatas 25th, atau diatas 30th, atau bahkan diatas 35th? Siapakah yang akan menikahi akhwat yang dari segi fisik tidak cukup alasan untuk dikatakan sebagai wanita cantik menurut kaidah umum? Kecantikan/ketampanan sifatnya memang dinamis, tapi kejelekan sifatnya mutlak bin absolut. Sobat, mereka adalah akhwat yang taat, mereka adalah calon mar’atus shalihah, mereka aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dakwah dan sosial. Sebagai ikhwan sejati, kita harus gentleman bertanya pada diri sendiri, siapakah yang harus menikahi mereka?
Oh, mengapa pertanyaannya “harus”? Sobat, kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas ini. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agung-Nya. Bukan, bukan ini maksud saya, dan bukan pula dalam konteks ini saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian? Saya punya pengalaman pribadi yang mau tidak mau harus saya sampaikan sebagai pelengkap mutiara kali ini. Tempo lalu saya mendapat surat elektrik dari seorang akhwat, inti suratnya adalah dia mengajak nikah. Subhanallah... saya bangga sama dia, 1:1000 loh dari akhwat yang menyatakan cintanya lebih dulu. Saya sambut baik ajakan itu, kalo famili saya sih ok ok aje. Tapi, Ibunda si Dia tidak merestui karena salah satu alasannya adalah umur saya 5th lebih muda dari dia. Awalnya saya juga ragu karena alasan yang sama, dia lebih tua 5th dari saya. Tapi saya ingat janji Allah bahwa jodoh yang spesial dan terbaik hanya untuk mereka yang spesial dan terbaik pula, oleh karenanya saya memantapkan diri untuk maju. Tapi akhirnya tidak jadi juga, ini baru nama takdir, bukan berarti saya lebih baik dari dia. Justru saya merasa bahwa dia jauh lebih baik dari saya, sehingga Allah memberikan keputusan agung-Nya. Oleh karenanya, peristiwa itu menjadi trigger bagi saya untuk lebih serius membersihkan noktah-noktah yang ada dalam diri dan jiwa saya, untuk menyambut Sang Bidadari, mar’atus sholihah. Allahu Akbar...
Ok, kita kembali ke pembahasan utama. Kendati pun Rasul saw menganjurkan kita agar menikahi seorang gadis(sederajat atau lebih muda) yang rupawan, kita juga mengetahui bahwa Cinta Pertama Beliau, umurnya 15th lebih tua dari Beliau -dan janda lagi- yaitu Ummul Mukminin Khadijah ra. Beliau melakukannya demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah, sekali lagi demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Terbukti, hadirnya Sayyidah Khadijah ra di sisi Rasul saw, fluks dakwah islamiyah semakin besar dan luas. Sayyidah Khadijah ra lah yang menyelimuti Beliau disaat Beliau menggigil setelah menerima wahyu, Sayyidah Khadijah ra lah yang menenangkan dan memberi support penuh dikala Beliau mendapat pressing dan cemoohan dari kaum kafir quraisy, dan Sayyidah Khadijah ra lah yang setelah kematiannya menjadi kenangan terindah yang tak terlupakan dimemori Beliau. Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikorelasikan dengan proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Jikalau kecantikan akhwat harapan kita bernilai 100 poin, tidakkah kita bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi lain? Ketika pilihan lebih membawa kemaslahatan dengan dakwah islamiyah, mengapa tidak ditempuh? Jikalau akhwat harapan kita berusia 20th, tidakkah kita bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada akhwat yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia? Sobat,
Oh, mengapa pertanyaannya “harus”? Sobat, kita bisa saja mengabaikan dan melupakan realitas ini. Jodoh di tangan Allah, kita tidak memiliki wewenang ilmiah untuk menentukan segala sesuatu, biarlah Allah memberikan keputusan agung-Nya. Bukan, bukan ini maksud saya, dan bukan pula dalam konteks ini saya berbicara. Kita memang bisa melupakan mereka, dan tidak peduli dengan orang lain, tapi bukankah islam tidak menghendaki kita berperilaku demikian? Saya punya pengalaman pribadi yang mau tidak mau harus saya sampaikan sebagai pelengkap mutiara kali ini. Tempo lalu saya mendapat surat elektrik dari seorang akhwat, inti suratnya adalah dia mengajak nikah. Subhanallah... saya bangga sama dia, 1:1000 loh dari akhwat yang menyatakan cintanya lebih dulu. Saya sambut baik ajakan itu, kalo famili saya sih ok ok aje. Tapi, Ibunda si Dia tidak merestui karena salah satu alasannya adalah umur saya 5th lebih muda dari dia. Awalnya saya juga ragu karena alasan yang sama, dia lebih tua 5th dari saya. Tapi saya ingat janji Allah bahwa jodoh yang spesial dan terbaik hanya untuk mereka yang spesial dan terbaik pula, oleh karenanya saya memantapkan diri untuk maju. Tapi akhirnya tidak jadi juga, ini baru nama takdir, bukan berarti saya lebih baik dari dia. Justru saya merasa bahwa dia jauh lebih baik dari saya, sehingga Allah memberikan keputusan agung-Nya. Oleh karenanya, peristiwa itu menjadi trigger bagi saya untuk lebih serius membersihkan noktah-noktah yang ada dalam diri dan jiwa saya, untuk menyambut Sang Bidadari, mar’atus sholihah. Allahu Akbar...
Ok, kita kembali ke pembahasan utama. Kendati pun Rasul saw menganjurkan kita agar menikahi seorang gadis(sederajat atau lebih muda) yang rupawan, kita juga mengetahui bahwa Cinta Pertama Beliau, umurnya 15th lebih tua dari Beliau -dan janda lagi- yaitu Ummul Mukminin Khadijah ra. Beliau melakukannya demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah, sekali lagi demi proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Terbukti, hadirnya Sayyidah Khadijah ra di sisi Rasul saw, fluks dakwah islamiyah semakin besar dan luas. Sayyidah Khadijah ra lah yang menyelimuti Beliau disaat Beliau menggigil setelah menerima wahyu, Sayyidah Khadijah ra lah yang menenangkan dan memberi support penuh dikala Beliau mendapat pressing dan cemoohan dari kaum kafir quraisy, dan Sayyidah Khadijah ra lah yang setelah kematiannya menjadi kenangan terindah yang tak terlupakan dimemori Beliau. Ini hanya satu contoh saja, bahwa dalam konteks pernikahan, hendaknya dikorelasikan dengan proyek, prospek, dan progres dakwah islamiyah. Jikalau kecantikan akhwat harapan kita bernilai 100 poin, tidakkah kita bersedia menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi lain? Ketika pilihan lebih membawa kemaslahatan dengan dakwah islamiyah, mengapa tidak ditempuh? Jikalau akhwat harapan kita berusia 20th, tidakkah kita bersedia sedikit memberikan toleransi dengan melihat kepada akhwat yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia? Sobat,
Janganlah kita mencari Istri untuk diri kita, tapi carilah Ibu untuk anak-anak kita.Ataukah kita telah bersepakat untuk tidak mau melihat realitas ini, karena memang bukanlah tanggung jawab kita? Ini urusan pribadi masing-masing, nafsi-nafsi. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah perkara takdir yang kita semua tak tahu. MasyaAllah, seribu dalil dan dalih bisa kita gunakan untuk mengabsahkan pikiran individualistik kita. Tak ingatkah kita,
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut diseluruh tubuh hingga tidak bisa tidur dan panas".Sobat, bisa jadi kebahagiaan pernikahan kita telah menyakitikan dan mengiris-iris hati beberapa orang lain. Setiap mereka mendapat kabar/undangan pernikahan, harus membaca dan menghadiri dengan perasaan sedih, karena jodoh tak kunjung datang. Sementara usia terus bertambah, dan kepercayaan diri terus berkurang. Oleh karena itu, marilah kita segera menjemput Khadijah-Khadijah pilihan kita. Allahu Akbar...
(HR Imam Bukhori dan Muslim)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar