Bunuh diri, dewasa ini ia telah menjadi fenomena menarik tapi miris di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bahkan telah menjadi sebuah gaya hidup baru. Bayangkan saja, setiap hari media massa meliput berita bunuh diri, mulai dari bom bunuh diri, gantung diri, tidur di rel kereta api, lompat dari gedung berlan-lantai, dan lain sebagainya. Sehingga saya dan teman-teman pun sempat mendiskusikannya.
"Bunuh diri adalah haram, apa pun maksud, tujuan dan penyebabnya, kecuali untuk jihad fisabilillah di daerah konflik seperti yang terjadi di Palestina dan Afganistan -tidak berlaku untuk aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia." Itulah garis besar kesimpulan dari diskusi saya dengan teman-teman di Kampus.
Hati saya bergejolak.
Bunuh diri memang tidak bisa dibenarkan oleh Islam. Akan tetapi, cobalah kita merasakan seakan-akan kita adalah ORANG yang mengalami masalah tersebut, mendapat tekanan ekonomi, sosial dan budaya, -contoh kasus lihat Jawa Pos hal.13, Rabu 14 April 2010-. Kita sudah berusaha mencari kerja, tetapi pekerjaan tak jua kita dapatkan. Kita sudah meminta bantuan kerabat, tetapi ternyata mereka tak sudi menolong kita. Kita sudah mencari pinjaman uang untuk membeli nasi dan lauk-pauk demi anak dan istri kita, tetapi ternyata tak ada satupun orang yang bisa menolong kita. Mungkin, ya, mungkin kalau kita terus berusaha, kita akan mendapatkan pinjaman uang atau apa pun istilahnya, tetapi bukankah lapar tidak bisa terus-menerus diredam dengan pinjaman? Kita bisa saja kuat untuk tidak makan berhari-hari, tetapi anak-anak kita yang masih kecil bukankah tidak sekuat kita?
Seorang teman memvonis -atau bahkan Antum wa Antumna juga," Salah sendiri orang itu. Sudah tahu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, masih juga nekat berumah tangga dan beranak pinak..."
Astaghfirullah, pilu hati saya mendengar vonis seperti itu. Bagaimana mungkin kita menyalahkan orang yang berumah tangga dan memiliki anak, sedangkan cinta dan kasih sayang adalah fitrah yang telah ditanamkan Allah swt pada hati setiap hamba-Nya?
Jikalau dua sejoli bunuh diri gara-gara hubungan cintanya tidak direstui orang tuanya -lihat Jawa Pos hal 13, Rabu 14 April 2010-, bisa diterima oleh akal sehat bahwa bunuh diri yang seperti itu adalah konyol. Jikalau dilihat dari nilai keharamannya, bunuh diri jenis itu tentu sangat haram sekali hukumnya. Tetapi, apa yang terjadi dengan ORANG yang bunuh diri tadi? Bunuh diri dilakukannya sebab dia merasa sudah tiada jalan lain untuk bisa menyelamatkan keluarganya.
Orang itu memang tetap akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt, kelak di akhirat. Akan tetapi, orang-orang yang dekat dengan lelaki itu -entah kerabat atau tetangganya yang (tentu) tahu masalah ekonomi orang tersebut- juga akan digiring ke pengadilan Ilahi oleh sebab akhlak mereka yang buruk karena tidak mau memberikan bantuan kepada keluarga yang malang itu.
Sekarang, marilah kita serahkan urusan tersebut kepada Allah swt, sebab Dialah Sang Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya. Marilah kita belajar bahwa di tengah-tengah lapang dan luasnya rizeki yang diberikan Allah kepada kita, banyak saudara kita yang tercekik karena tekanan ekonomi, sosial dan budaya. Membiarkan mereka sama saja dengan membunuh mereka! Tak ada bedanya antara dia yang bunuh diri dengan orang-orang yang menyebabkan hal itu terjadi.
Menjunjung tinggi bisa beragama adalah penting. Tetapi, berakhlak dengan akhlak agama yang benar juga penting. Kita tidak bisa terus-menerus menyibukkan diri dalam ibadah-ibadah vertikal kita di satu sisi, dan membiarkan saudara-saudara kita menjerit meminta tolong di sisi lain. Bagaimana bisa kita membaca kalam-kalam Ilahi, sedangkan terdengar jelas di telinga kita tangisan si anak tetangga kita yang kehausan dan kelaparan? Bagaimana bisa diantara kita berkali-kali naik haji, sedangkan ada tetangga kita yang tidak bisa membeli beras?
Apa yang mau kita banggakan di hadapan Allah? Ibadah-ibadah kita kah?
Daripada kita mencaci, menghujat, memvonis, atau menyalahkan orang yang bunuh diri gara-gara tekanan ekonomi, sosial dan budaya, lebih baik bagi kita semua adalah bermuhasabah. Siapa tahu shalat kita, puasa kita, haji kita, atau Ibadah vertikal kita yang lain tidak bernilai di hadapan Allah sebab akhlak kita kepada saudara, orang tua, tetangga, dan kepada semua makhluk ciptaan Allah swt ternyata buruk. Hati kita seringkali dikerubuti oleh buruk sangka, jiwa kita dikotori oleh umpatan dan makian.
"Bunuh diri adalah haram, apa pun maksud, tujuan dan penyebabnya, kecuali untuk jihad fisabilillah di daerah konflik seperti yang terjadi di Palestina dan Afganistan -tidak berlaku untuk aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia." Itulah garis besar kesimpulan dari diskusi saya dengan teman-teman di Kampus.
Hati saya bergejolak.
Bunuh diri memang tidak bisa dibenarkan oleh Islam. Akan tetapi, cobalah kita merasakan seakan-akan kita adalah ORANG yang mengalami masalah tersebut, mendapat tekanan ekonomi, sosial dan budaya, -contoh kasus lihat Jawa Pos hal.13, Rabu 14 April 2010-. Kita sudah berusaha mencari kerja, tetapi pekerjaan tak jua kita dapatkan. Kita sudah meminta bantuan kerabat, tetapi ternyata mereka tak sudi menolong kita. Kita sudah mencari pinjaman uang untuk membeli nasi dan lauk-pauk demi anak dan istri kita, tetapi ternyata tak ada satupun orang yang bisa menolong kita. Mungkin, ya, mungkin kalau kita terus berusaha, kita akan mendapatkan pinjaman uang atau apa pun istilahnya, tetapi bukankah lapar tidak bisa terus-menerus diredam dengan pinjaman? Kita bisa saja kuat untuk tidak makan berhari-hari, tetapi anak-anak kita yang masih kecil bukankah tidak sekuat kita?
Seorang teman memvonis -atau bahkan Antum wa Antumna juga," Salah sendiri orang itu. Sudah tahu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, masih juga nekat berumah tangga dan beranak pinak..."
Astaghfirullah, pilu hati saya mendengar vonis seperti itu. Bagaimana mungkin kita menyalahkan orang yang berumah tangga dan memiliki anak, sedangkan cinta dan kasih sayang adalah fitrah yang telah ditanamkan Allah swt pada hati setiap hamba-Nya?
Jikalau dua sejoli bunuh diri gara-gara hubungan cintanya tidak direstui orang tuanya -lihat Jawa Pos hal 13, Rabu 14 April 2010-, bisa diterima oleh akal sehat bahwa bunuh diri yang seperti itu adalah konyol. Jikalau dilihat dari nilai keharamannya, bunuh diri jenis itu tentu sangat haram sekali hukumnya. Tetapi, apa yang terjadi dengan ORANG yang bunuh diri tadi? Bunuh diri dilakukannya sebab dia merasa sudah tiada jalan lain untuk bisa menyelamatkan keluarganya.
Orang itu memang tetap akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt, kelak di akhirat. Akan tetapi, orang-orang yang dekat dengan lelaki itu -entah kerabat atau tetangganya yang (tentu) tahu masalah ekonomi orang tersebut- juga akan digiring ke pengadilan Ilahi oleh sebab akhlak mereka yang buruk karena tidak mau memberikan bantuan kepada keluarga yang malang itu.
Sekarang, marilah kita serahkan urusan tersebut kepada Allah swt, sebab Dialah Sang Maha Adil terhadap hamba-hamba-Nya. Marilah kita belajar bahwa di tengah-tengah lapang dan luasnya rizeki yang diberikan Allah kepada kita, banyak saudara kita yang tercekik karena tekanan ekonomi, sosial dan budaya. Membiarkan mereka sama saja dengan membunuh mereka! Tak ada bedanya antara dia yang bunuh diri dengan orang-orang yang menyebabkan hal itu terjadi.
Menjunjung tinggi bisa beragama adalah penting. Tetapi, berakhlak dengan akhlak agama yang benar juga penting. Kita tidak bisa terus-menerus menyibukkan diri dalam ibadah-ibadah vertikal kita di satu sisi, dan membiarkan saudara-saudara kita menjerit meminta tolong di sisi lain. Bagaimana bisa kita membaca kalam-kalam Ilahi, sedangkan terdengar jelas di telinga kita tangisan si anak tetangga kita yang kehausan dan kelaparan? Bagaimana bisa diantara kita berkali-kali naik haji, sedangkan ada tetangga kita yang tidak bisa membeli beras?
Apa yang mau kita banggakan di hadapan Allah? Ibadah-ibadah kita kah?
Daripada kita mencaci, menghujat, memvonis, atau menyalahkan orang yang bunuh diri gara-gara tekanan ekonomi, sosial dan budaya, lebih baik bagi kita semua adalah bermuhasabah. Siapa tahu shalat kita, puasa kita, haji kita, atau Ibadah vertikal kita yang lain tidak bernilai di hadapan Allah sebab akhlak kita kepada saudara, orang tua, tetangga, dan kepada semua makhluk ciptaan Allah swt ternyata buruk. Hati kita seringkali dikerubuti oleh buruk sangka, jiwa kita dikotori oleh umpatan dan makian.
Rasulullah pernah berpesan," Ketika Allah swt menciptakan iman, iman berdoa,'Yaa Allah, kuatkan aku.' Maka Allah memperkuatnya dengan akhlak yang baik dan kedermawanan. Ketika Allah menciptakan kekufuran, kekufuran berdoa,'Yaa Allah, kuatkan aku.' Maka Allah memperkuatnya dengan kebakhilan dan akhlak yang buruk."Maka, yang dosa dan salah, biarlah diputuskan oleh Allah swt kelak di pengadilan-Nya. Tidak perlu mendosa-dosakan dan menyalah-nyalahkan orang lain. Sebab, siapa tahu diri kita masih banyak dilumuri dosa dan kesalahan. Sudah begitu, bisa jadi dosa dan kesalahan kita bertambah-tambah dengan cara mendosa-dosakan dan menyalah-nyalahkan sesama hamba-Nya. Dan yang perlu diperhatikan secara serius adalah bahwa tekanan ekonomi, sosial dan budaya yang melanda saudara kita (masyarakat Indonesia) itu disebabkan oleh Pemerintah dan Sistem Pemerintahannya yang telah nyata-nyata gagal menyejahterakan rakyatnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar