Sebesar apa Cinta, sebesar itu pula Benci.

Sobat, kita kagak perlu(atau bahkan jangan) khawatir bahwa jikalau kagak mendapatkan belahan jiwa dari sekarang, nanti kagak akan laku atau kagak mendapatkan jodoh. Alasan klasik ini yang sering menyebabkan banyak kalangan dari kita(Pemuda-Pemudi) mengambil langkah pacaran agar memiliki kepastian calon suami atau istri. Kekuatiran seperti ini lebih berat dialami oleh kaum hawa, disebabkan secara kultural mereka adalah pihak yang pasif, menunggu kehadiran seorang laki-laki meminang dirinya. Dengan demikian, mereka merasa lebih kuatir kalau kagak ada kepastian jodoh dari sekarang, nanti kagak akan ada yang datang melamar. Untuk alasan itu, banyak kita jumpai perilaku seorang perempuan yang memikat dan mengikat laki-laki dengan berbagai macam cara, agar bisa setia dengan dirinya sampai ke jenjang pernikahan.

Situasi seperti inilah yang secara tepat dan cepat (namun teramat sangat licik sekali) dimanfaatkan oleh kaum adam hidung belang. Mereka bisa memiliki daya tawar yang tinggi sehingga si Perempuan tunduk dan menyerahkan segala-galanya (bahkan rela memberikan tubuhnya untuk dinikmati) kepada Laki-laki yang diharapkan kesetiaannya tersebut. Sangat malang nasib si Perempuan, karena Laki-laki itu tak lebih dari buaya darat yang hanya memanfaat kekuatiran perempuan dimasa-masa dewasanya, setelah menikmati sampe puas bin tuntas, ia tinggalkan begitu saja si Perempuan dengan berbagai macam dalih dan kilah. Ditambah lagi, si Perempuan melihat laki-laki (mata keranjang) pujaannya itu berjalan begitu mesranya dengan Perempuan lain. Sangat menyakitkan akhirnya, si Perempuan menjerit, berteriak, dan memberontak. Cintanya yang teramat sangat menjulang tinggi pada Lelaki itu, berubah menjadi jurang kebencian yang teramat sangat curam dan dalam. Oleh karenanya,
Seberapa besar cinta, sebesar itu pula benci
dan serta hendaknya kaum hawa berhati-hati dari ketertipuan semacam ini.

Sobat, renungkanlah...
Bagaimana jikalau hal semacam itu menimpa kita?
Kita mencintai seseorang dengan cinta yang begitu dalam. Karena cinta(yang salah kaprah), kita pun rela menyerahkan semuanya dan segalanya. Uang kita berikan, dan tubuh pun kita relakan. Kita lakukan semua ini "demi dan atas nama cinta(yang salah kaprah) itu". Lantas, siapakah yang menanggung kerugian tersebut? Sejatinya, kagak hanya perempuan yang mengalami kerugian dalam segala aspek, tapi juga laki-laki(bagi mereka yang kagak dungu bin primitif).

Kita boleh saja mengatakan bahwa kita memiliki uang jutaan dollar dan harta yang melimpah ruah, lalu kita berikan kepada pujaan hati kita, dan habis. Dengan bekerja lagi, kita bisa mencari dan mengembalikannya lagi. Tapi tubuh kita? Kehormatan kita? Dan kesucian kita?

Duh, sungguh betapa jahat dan kejamnya orang yang kagak bisa menjaga diri dan kehormatanya.
Atas nama cinta, sesuatu yang tidak bisa pulih dan kembali terkadang direlakan untuk diberikan begitu saja. Dan atas nama cinta, sesuatu yang tidak boleh diberikan harus diberikan di saat yang belum seharusnya diberikan.
Dan, yang tersisa kemudian hanyalah penyesalan, penyesalan yang sudah terlambat. Kita mau menjerit, meronta-ronta, berteriak-teriak, atau menangis darah sekalipun, kehormatan dan kesucian kita yang telah ternoda itu kagak akan pernah kembali lagi. Tiada doa yang dapat mengembalikan keperawanan, dan tiada munajat yang dapat mengembalikan keperjakaan. Pada akhirnya, kita sendirilah yang harus menanggung akibatnya. Rela atau tidak rela, ikhlas atau tidak ikhlas, kita harus menerima kenyataannya!
Sikap menerima dan mau menanggung adalah kuburan bagi aib dan kekurangan.
(Ali bin Abi Thalib)
Kita harus menanggung aib yang telah terjadi, karena hal ini lebih terhormat bagi kita daripada berteriak menangis. Kita harus menerima yang telah kita perbuat sendiri, karena hal ini lebih terpuji bagi kita daripada mencaci-maki histeris. Dan yang terpenting adalah kita harus segera bertaubat, "Taubatan Nasuha", karena hal ini jauh lebih mulia daripada kita bunuh diri dramatis.

Sobat, sekali lagi renungkanlah...
Dewasa ini, kagak sedikit dijumpai fenomena masyarakat kita yang kagak adil menilai diri sendiri. Banyak kalangan dari kita berada dalam situasi dan kondisi pergaulan bebas, entah sudah berapa banyak dari kita yang gonta-ganti pasangan atau pacar, atas nama mencari kecocokan untuk berkeluarga. Mereka sudah melakukan kegiatan layaknya suami istri dengan pacar-pacar yang berhasil dibujuk dan dirayu. Berapa banyak yang menjadi korban, entah dengan kesadaran suka-sama-suka dan kemauan sendiri, ataupun karena ketertipuan.

Sementara itu, ketika saatnya menikah, mereka menginginkan wanita perawan yang suci, belum dijamah laki-laki, yang setia, kagak akan selingkuh dan senantiasa menjaga keutuhan rumah tangga. Bagaimana kita bisa memiliki harapan setinggi itu, menuntut kesucian pasangan, sedangkan mereka bergelimang dalam kemaksiatan. Mereka sendiri kagak suci, layakkah dapat perempuan suci? Kecuali jikalau mereka bertaubat kepada Allah dengan "taubatan nasuha".
...Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mikmin...
(QS an-Nuur :3)
Jadi, bagaimana mungkin ada di antara kita yang berani memutuskan untuk berzina, sedangkan pasangan bagi orang yang berzina hanyalah pezina pula? Na'udzubillahi min dzalik. Sobat, jikalau kita ingin mendapat pasangan yang baik, jadikan diri kita baik terlebih dahulu. Jikalau ingin mendapat istri yang shalihah, jadikan diri kita shalih terlebih dahulu. Bagaimana kita menuntut istri sekualitas sayyidah Fatimah ra, sedangkan kita kagak sekapasitas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra? Demikian juga pihak wanita, bagaimana mungkin seorang perempuan menghendaki calon suami sekokoh nabi Ibrahim as, sedangkan dirinya kagak setabah Sayyidah Hajar ra?
...Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita yang keji (pula). Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)...
(QS an-Nuur :26)
Oleh karena itu, sobat, mulailah dari diri kita sendiri, Ibda' binafsika.


by Kang Alfan
0 Responses

Posting Komentar

  • Berlangganan

    Sahabat yang ingin mutiara-mutiara ini langsung terkirim ke Email Sahabat, silahkan masukkan Email disini:

    Kacamata Dunia

    free counters